mantan Direktur Digital & Teknologi Informasi (TI) Bank BRI 2017-2022 Indra Utoyo. Aktual/IG

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan mantan Direktur Digital dan Teknologi Informasi (TI) Bank BRI periode 2017–2022, Indra Utoyo, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Elektronik Data Capture (EDC) tahun 2020–2024.

“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Selasa (16/9).

Indra diketahui merupakan salah satu tersangka dalam perkara ini. Saat ini, mantan Direktur Utama Allo Bank tersebut tengah mengajukan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan status tersangka.

Selain Indra, penyidik KPK juga memanggil sejumlah pihak lain, yakni Country Manager PT Verifone Indonesia Irni Palar; Direktur Utama PT Jaring Mal Indonesia Indra Aris Kurniawan; dan karyawan swasta Herdika Aji Wibowo.

KPK sendiri telah menetapkan lima tersangka, termasuk Indra. Mereka adalah eks Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto, SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI 2020 Dedi Sunardi, Direktur PT Pasifik Cipta Solusi (PCS) Elvizar, serta Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi (BRI IT) Rudi Suprayudi Kartadidjadja.

Total anggaran pengadaan mesin EDC mencapai Rp 2,1 triliun, dengan dua skema, yakni beli putus senilai Rp 942,7 miliar untuk 346.838 unit, serta sewa (Full Managed Services/FMS) senilai Rp 1,2 triliun untuk 200.067 unit.

KPK menduga proses pengadaan telah diarahkan sejak tahap uji kelayakan teknis pada 2019. Hanya dua merek yang lolos proof of concept (POC), yakni Sunmi milik PT PCS dan Verifone milik PT BRI IT.

Dalam perkara ini, KPK menemukan adanya aliran uang dan gratifikasi berupa barang mewah. Catur diduga menerima Rp 525 juta dari Elvizar dalam bentuk sepeda serta dua ekor kuda. Dedi mendapatkan sepeda Cannondale senilai Rp 60 juta, sementara Rudy menerima Rp 19,72 miliar dari pihak Verifone Indonesia.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.