Jakarta, Aktual.com – Masyarakat sipil mendesak pengusutan kasus dugaan korupsi PLTU Riau-1 lebih luas dan tidak berhenti pada elit parpol saja, namun juga melihat keterlibatan entitas partai politik  dan korporasi yang menjadi bagian dari tindak pidana tersebut.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai kasus PLTU Riau-1 mengindikasikan bagaimana proyek listrik yang merupakan proyek strategis negara masih dijadikan “sapi perah” untuk kepentingan tertentu.

“Hal ini diperkuat dengan indikasi aliran dana Johannes ke Munaslub Golkar di tahun 2017, yang mana Eni sendiri menjabat sebagai Bendahara Munaslub. Karenanya, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mengusut keterlibatan elit lain dan partai politik,” aktivis Jatam Melky Nahar secara tertulis, Sabtu (8/9)

Menurut Melky, mekanisme penunjukkan langsung meningkatkan celah praktik transaksional antara BUMN, investor, elit politik juga elit bisnis, sebagaimana yang terindikasikan dari kasus dugaan korupsi PLTU Riau-1. Blackgold Natural Insurance Limited, perusahaan pemberi suap Eni dan Idrus, melalui anak perusahaannya, PT Samantaka Batubara merupakan anggota konsorsium pelaksana proyek PLTU Riau-1. Sementara anggota konsorsium lainnya meliputi China Huadian Engineering Co (CHEC), serta PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) dan PT PLN Batubara yang merupakan anak usaha dari PLN.

Kasus Proyek PLTU Riau-1 menjadi preseden buruk dalam pengembangan proyek 35.000 MW, besar peluang modus serupa juga terjadi di proyek PLTU lainnya. Karenanya, urgen untuk meninjau ulang proyek 35.000 MW.

“Tanpa ada pengawasan yang kuat, proyek strategis ini bisa dijadikan bancakan politik. Terlebih lagi, memasuki tahun politik di tahun 2019 dengan adanya pemilihan presiden dan legislatif,” tegas Melky.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan celah korupsi dalam pengadaan di sektor listrik tidak terlepas dari mekanisme penunjukkan langsung pelaksana proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt periode 2015-2019 yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3 Tahun 2015.

“Hal itu menyebabkan masalah transparansi dan akuntabilitas, serta menciptakan peluang untuk korupsi dan penyalahgunaan sebagaimana terindikasi dalam kasus suap PLTU Riau 1,” papar Maryati.

Maryati menjelaskan, selain itu, sistem pengadaan tertutup juga menutup kemungkinan terbentuknya struktur pasar yang mengutamakan pada harga yang kompetitif, yang seharusnya menjadi dasar utama pemilihan IPP. Bila yang diinginkan adalah listrik murah, maka sistem lelang, atau lelang terbatas yang harusnya dijadikan pilihan.

Berdasarkan RUPTL 2018-2027 Sumatera diperkirakan akan membangun lebih dari enam ribu MW PLTU mulut tambang dalam 10 tahun ke depan. Di awal rencana, penambahan kapasitas ini dimaksudkan untuk memasok wilayah Sumatera dan Jawa-Bali. Namun akibat kelebihan pasokan listrik di Jawa-Bali, maka rencana kebutuhan ekspansi tersebut menjadi dipertanyakan. Kendati demikian tidak ada perubahan rencana secara signifikan, malah sebagaimana ditunjukkan oleh kasus suap PLTU MT Riau 1, pembangunan PLTU mulut tambang semakin dikebut.

Untuk diketahui, KPK hingga sekarang telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap proyek Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU) Riau-1, yakni Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR Fraksi Golar yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI, Johanes Budisutrino Kotjo selaku pemilik Blackgold Natural Insurance Limited, dan Idrus Marham, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar.

Eni dan Idrus diduga terlibat untuk memuluskan penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1. Eni diduga menerima suap sebesar Rp 500 juta dari Johannes sebagai bagian dari commitment fee (2,5%) untuk proyek PLTU-Riau-2 yang mencapai Rp4,8 miliar. Ini merupakan kali keempat Eni menerima uang dari Johannes, setelah sebelumnya telah menerima sejumlah Rp2 miliar pada Desember 2017, Rp2 miliar pada Maret 2018, dan Rp300 juta pada Juni 2018. Sementara Idrus dijanjikan commitment fee sebesar Rp1,5 miliar.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta