Jakarta, Aktual.com — ‎Pelaksana tugas (Plt) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji mengaku, belum mengetahui sejauh mana proses penanganan kasus, terkait pemberian Surat Keterangan Lunas Badan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Saat ini, klaim dia belum mengetahu lebih lanjut mengenai penanganan kasus yang diduga melibatkan sejumlah petinggi lembang di tanah air itu.

“Belum ada laporan dari tim,” ujar Indriyanto kepada Aktual.com, Kamis (20/8).

Namun demikian, ketika dikonfirmasi apakah penanganan kasus tersebut berjalan sesuai prosedur, pakar hukum pidana Universitas Indonesia itu belum menjelaskannya. Seperti diketahui, SKL merupakan kebijakan yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Saat itu, posisi Presiden dijabat Megawati Soekarnoputri.

“Ada yang mekanisme pemberian SKL itu melalui Kementerian Keuangan, melalui kebijakan yang pernah mereka putuskan,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi, pada 2014 silam.

SKL tersebut berisi pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya, atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Kebijakan itu dikenal juga dengan Inpres tentang ‘release and discharge’.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3).

Penerima SKL BLBI beberapa di antaranya yakni pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BNDI) Sjamsul Nursalim, pengusaha The Nin King, pengusaha Bob Hasan, dan Salim Group (utang Salim Group ketika dibuatkan SKL mencapai lebih dari Rp 55 triliun. Selang 2 tahun setelah SKL terbit, aset Salim Group yang diserahkan ternyata hanya bernilai Rp 30 triliun.

Nama-nama lain yang turut menerima adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (PT Bank Namura Internusa dengan kewajiban sebesar Rp 303 miliar), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian Rp 424,65 miliar), Lidia Muchtar (Bank Tamara Rp 189,039 miliar), Marimutu Sinivasan (PT Bank Putera Multi Karsa Rp 790,557 miliar), Omar Putihrai (Bank Tamara Rp 159,1 miliar), Atang Latief (Bank Bira kewajiban membayar Rp 155,72 miliar), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat Rp 577,812 miliar).

Sebelumnya, dalam kasus ini Kejaksaan Agung sudah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap sejumlah debitor. Meski beberapa konglomerat besar sudah menerima SKL, sekaligus release and discharge dari pemerintah.

Padahal, Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar kejaksaan mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum. Salah satunya dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang sudah dikucurkan ke 48 bank umum nasional, kerugian negara disebutkan mencapai Rp 138,4 triliun.

Di sisi lain audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP bahkan menyimpulkan Rp 53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

KPK dalam kasus ini sudah memintai keterangan beberapa terperiksa. Mereka di antaranya mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie, mantan Meneg BUMN Laksamana Sukardi serta mantan Menperin Rini Soewandi.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu