Namun demikian, dia berpendapat lesunya bisnis properti saat ini tidak semata soal faktor hambatan perizinan birokrasi semata. Tetapi juga daya beli masyarakat yang menurun.

Sementara F. Rach Suherman, konsultan bisnis properti menuturkan, di era otonomi daerah memiliki ekses disharmonisasi regulasi, paket kebijakan ekonomi XIII Jokowi yang sejatinya bagus, tetapi terhambat berbagai peraturan daerah (Perda) lama yang belum banyak diubah di banyak pemda.

“Contoh nyata adalah penurunan PPh 5% jadi 2,5%, sama sekali tidak digubris daerah sehingga BPHTB tetap 5% dan hal ini karena PAD. Kepentingan pusat-daerah membuat dunia usaha terjepit diantara ‘dua raja’,” ungkap Sucherman.

Terkait praktek suap sendiri yang dilakukan pihak korporasi, menurutnya, berhubungan dengan mental. Namun demikian, suap dilakukan swasta atau developer karena ingin membeli waktu di saat terhambat panjangnya dan berbelitnya proes perizinan.

Padahal perencanaan bagi pengembang harus lekas jalan karena ada cost of money. “Praktek suap sendiri ada karena pengusaha tidak memenuhi syarat dan kemudian mengambil jalan pintas dan ini juatru disambut baik oleh pejabat yang kebetulan kepepet ingin lekas kaya,” terang dia.