“Padahal, dalam UUD 45 Pasal 23 dijelaskan kebebasan menyatakan pikiran baik lisan maupun tulisan,” nilai dia.
Dia mempertanyakan apakah salah jika seseorang seniman atau siapapun menyampaikan sikap kritisnya melalui sebuah karya puisi dan pilihan kata-katanya.
“Berbeda halnya jika puisi Ibu Sukmawati terbukti menyebabkan korban. Terlebih dalam klarifikasinya Ibu Sukmawati telah menyatakan tidak memiliki niatan buruk melalui karya puisi itu, melainkan ingin memahami Islam Nusantara dengan kekayaan budaya Indonesia,” kata dia.
Adinda berpandangan puisi merupakan karya seni dari goresan pribadi yang dalam realitasnya memang bisa diinterpretasikan berbeda-beda.
“Puisi itu multi-interpretasi, boleh jadi ada pihak yang keberatan atau tersinggung, tapi terbuka ruang dialog. Saya pikir tidak perlu melaporkan kepada yang berwajib,” kata dia.
Dia melihat di tengah kentalnya politik identitas, sosok Sukmawati yang merupakan trah Presiden pertama RI Soekarno, tidak dapat dihindari akan jadi sorotan. Dan mungkin saja dalam kasus seperti ini, kata dia, agama mudah dimanfaatkan sebagai komoditas dalam politik identitas.
Adinda berpendapat, pelaporan terhadap Sukmawati atas puisinya hanya memberikan pesan negatif di mana publik sebaiknya tidak berekspresi terkait agama, jika tidak ingin dipersekusi atau dipidanakan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid