“Itu proses psikologi 16 bank ditutup yang beredar beberapa hari kemudian setelah ditutup, beredar berita who is the next. Lalu ada dampak aliran perpindahan simpanan dari bank yang diperkirkan ditutup ke bank yang dianggap lebih aman,” ungkap Boediono.
“Yang besar dianggap berisiko dipindah ke BUMN. Di BUMN juga dianggap tak aman, dilarikan ke Singapura. Terus terang IMF enggak memiirkan dampak seperti ini,” lanjut dia.
Menurut Boediono, krisis yang terjadi tahun 1997-1998 sangat berbeda dengan krisis tahun 1960 maupun 1980. Pada 1997-1998, krisis moneter lebih disebabkan pembalikan dana asing ke luar negeri, sementara pada 1960 atau 1980 lebih disebabkan anjloknya harga minyak yang menyebabkan beban ke APBN.
“Ini (tahun 1997-1998) lain, karena disentil aliran balik modal yang dulu beredar di dalam negeri untuk likuiditas perekonomian, pulang, balik. Yang terjadi tiba-tiba likuiditas mengering. Itu waktu itu suatu yang baru bagi kita semua. IMF bahkan belum punya resep masih mencari-cari,” paparnya.
Boediono yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengatakan pemerintah baru menyadari resep pertama dari IMF itu salah setelah beberapa bulan setelahnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid