Wartawan mengambil gambar di dalam gudang penyimpanan pakaian impor bekas ilegal di kawasan Pulogebang, Jakarta, Senin (1/8). Direktorat kriminal khusus Polda Metro Jaya berhasil mengungkap penyelundupan pakaian bekas dan tekstil impor ilegal dengan mengamankan 12 tersangka dan menyita 2.216 bal pakaian bekas. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/16.

Tanjungpinang, Aktual.com – Kejahatan dari aksi penyeludupan di Provinsi Kepulauan Riau lebih parah dibanding korupsi, sehingga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintahan dan institusi penegak hukum.

“Aksi penyeludupan sama seperti korupsi, tidak dapat berdiri sendiri, melainkan melibatkan berbagai pihak. Karena penyeludupan menggunakan kapal yang tidak sulit dipantau dan diamankan petugas,” kata Ketua LSM Riau Cooruption Watch Mulkansyah di Tanjungpinang, Sabtu (18/2).

Mulkan mengemukakan Kepri, wilayah yang strategis, karena berbatasan dengan sejumlah negara seperti Malaysia dan Singapura. Kapal-kapal milik pengusaha ekspor impor ini hampir setiap hari melintasi di perairan Kepri dan berlabuh di berbagai kawasan.

Uniknya, kata dia sampai sekarang masih ditemukan puluhan pelabuhan rakyat, tanpa izin yang masih beroperasi. “Ini seperti ada pembiaran. Siapa yang berwenang untuk menutupnya? Kenapa tidak ditutup?” singgungnya.

Menurut dia, aksi menyeludupan yang merajalela ini merugikan negara, dan membahayakan masyarakat Kepri sebagai konsumen. Karena itu, ia akan melaporkan kasus ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki lebih mendalam siapa pemain dalam aksi penyeludupan tersebut.

Untuk mengungkap kasus ini, lanjutnya tidak terlalu sulit, karena KPK memiliki strategi dalam melakukan operasi tangkap tangan. “Negara dirugikan akibat aksi penyeludupan ini. Berapa banyak pendapatan yang seharusnya diterima negara, tetapi hilang,” katanya.

Selama ini, kata dia barang yang berasal dari luar negeri dijual bebas di Kepri, meski tanpa izin. Barang-barang itu tidak hanya dijual secara terselubung, melainkan dapat ditemukan di swalayan dan pasar.

Fakta itu sudah terjadi lama, bukan setahun atau dua tahun. Penegak hukum dan pemerintah seolah-olah berhasil “menidurkan” masyarakat menikmati barang-barang ilegal produk asing yang konon harganya dijual lebih murah dan berkualitas.

“Siapa yang bertanggung jawab terhadap permasalahan ini? Tidak ada yang mau disalahkan,” ujarnya.

Mulkan menyayangkan institusi yang bertanggung jawab mengatasi permasalahan itu tidak bekerja maksimal. Padahal di Kepri terdapat Bea dan Cukai, kepolisian, Syahbandar, KPLP dan TNI AL.

Dalam satu tahun terakhir, menurut dia institusi yang paling menonjol memerangi aksi penyeludupan adalah Lantamal IV/Tanjungpinang. Hampir setiap hari pasukan TNI AL itu berhasil menegahkan kapal yang mengangkut barang-barang ilegal yang berasal dari Malaysia, Singapura dan Tiongkok.

Dari pernyataan Komandan Lantamal IV/Tanjungpinang Laksamana Pertama S Irawan pada sejumlah berita di media massa, menunjukkan aksi penyeludupan tidak pernah berhenti.

Penangkapan yang dilakukan Lantamal IV/Tanjungpinang dalam beberapa pekan terakhir, menunjukkan di Kepri masih banyak terjadi aksi penyeludupan. “Bayangkan saja, hampir setiap hari Tim WFQR Lantamal IV menangkap para penyeludup,” katanya.

Dari hasil penangkapan yang dilakukan Lantamal IV, ternyata aksi penyeludupan dan kejahatan lainnya tidak hanya di Selat Malaka atau perairan yang berbatasan dengan negara tetangga, melainkan di perairan dekat Batam, Tanjungpinang, Lingga, Karimun dan Bintan.

Artinya, untuk menangkap para pelaku kejahatan di perairan Kepri tidak membutuhkan waktu yang lama dan energi yang besar, melainkan keinginan dan integritas yang kuat untuk memberantas aksi penyeludupan. “Tidak ada kata terlambat, sekarang sudah saatnya seluruh institusi yang berwenang itu bersinergi, menyatukan kekuatan, membuang egosektoral untuk menangkap para pelaku penyeludupan,” katanya.

Menurut dia, aksi penyeludupan baru ketahuan bila terjadi penegahan. Jika tidak ada penegahan, kondisi di perairan Kepri seolah-olah aman, padahal barang-barang ilegal itu banyak dijual bebas.

“Pemerintah daerah seharusnya menangkap peluang tersebut untuk meningkatkan pendapatan negara, sekaligus menjamin barang-barang yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat terjamin,” katanya.

Mulkan juga menyinggung permasalahan limbah oli di pesisir Bintan dan Batam yang terjadi setiap musim angin utara (November-Januari). Permasalahan itu seharusnya segera dituntaskan karena Kepri bukan tempat pembuangan limbah.

Selain itu, dia juga menyinggung permasalahan barang bekas, seperti pakaian bekas dari Singapura, yang diangkut secara ilegal dan dijual secara bebas. “Kepri ini bukan tempat pembuangan barang-barang bekas ilegal,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara