Jakarta, Aktual.co — Pemerintahan baru nampaknya sangat antusias dalam melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada sejumlah Badan Usaha Milik Negara. Pada APBN 2015 alokasi PMN hanya sebesar Rp5,1 triliun. Akan tetapi, dalam NK RAPBNP 2015 alokasi melonjak sangat drastis menjadi Rp72,9 triliun.
“Penambahan alokasi PMN tersebut menjadi alasan bagi pemerintah untuk menambah pembiayaan yang bersumber dari penerbitan surat berharga negara (SBN). Target tambahan itu melalui penerbitan surat utang Negara dalam denominasi Rupiah dan juga Valuta Asing dengan tambahan net sekitar Rp31 triliun,” kata Analis Ekonomi Politik Tim Pakar Koalisi Anti Utang (KAU), Kusfiardi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (30/1).
Menurutnya, kebijakan Pemerintah yang ambisius dalam meningkatkan PMN pada saat yang sama justru meningkatkan beban utang.
“Beban utang pemerintah sejauh ini bukan saja membebani tapi menggerogoti keuangan Negara,” ujarnya.
Ia menambahkan, pada saat yang sama tidak ada jaminan bahwa alokasi PMN sebesar Rp72,9 triliun dalam RAPBNP 2015 bisa mencapai tujuan yang dicanangkan oleh Pemerintah sendiri. “Apalagi audit BPK pernah menemukan bahwa dalam praktiknya oleh BUMN yang menerima alokasi PMN justru menggunakan dana tersebut untuk membayar utang. Jika demikian halnya menjadi sangat mungkin seluruh target alokasi PMN tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan”.
“Khusus untuk penyaluran PMN dalam RAPBNP 2015 belum disertai dengan dokumen studi kelayakan. Padahal dokumen itu penting untuk melihat sejauh mana alokasi PMN bisa mencapai tujuan yang dicanangkan pemerintah,” ungkapnya.
Kusfiardi menilak bahwa sebaiknya DPR menolak rencana PMN yang berdampak pada meningkatnya beban utang. Selain itu akuntabilitas kebijakan alokasi PMN ini juga rendah sekali sebab penolakan oleh DPR bisa mencegah dua hal penting.
“Pertama mencegah bertambahnya utang Negara. Kedua, mencegah penggunaan uang Negara yang sama sekali berbeda dengan tujuan peruntukannya,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka

















