Saudaraku, setiap kali kumendengar kabar kematian, bergetar hatiku menginsyafi larik puisi W.S. Rendra. “Hidup itu seperti uap, yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap.”
Ya, hidup ini sungguh pendek, sedang kehidupan itu panjang. Tak sepatutnya demi penghidupan kita korbankan kehidupan.
Semua orang memimpikan keabadian, namun banyak orang terperangkap pesona kenisbian.
Jangan mengabadikan sesuatu yang takkan dibawa mati. Yang membuatmu terus hidup dan menghidupkan sampai mati hanyalah warisan ilmu, amal kebajikan, keturanan saleh.
Menulislah saat hidup atau dituliskan saat mati. Hidup mulia memberi arti. Dalam mati engkau abadi.
Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi, selama ia tidak menulis maka ia hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Orang boleh kaya seluas samudera. Namun, jika kubangan harta itu tak menumbuhkan raharja bagi kehidupan, maka ia akan mengambang sebentar laksana buih, lantas lenyap disapu gelombang. Berderma adalah beramal untuk keabadian.
Mengenang Prof. Azyumardi Azra
Makrifat Pagi, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin