Jakarta, Aktual.com — Organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang kian menjadi sorotan publik, menuai kritik keras dari sejumlah elemen masyarakat, terlebih dari para politikus di parlemen.

Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengatakan bahwa meski kebebasan bersyarikat dan berkumpul yang diberikan oleh negara, namun bukanlah kebebasan tanpa batasan.

Keberadaan seluruh organisasi kemasyarakatan haruslah sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta organisasi kemasyarakatan yang dibentuk tidak boleh menimbulkan keresahan dan mengganggu keamanan.

“Karena itu, tidak semua organisasi bebas berkembang dan merekrut anggota. Apalagi, cara-cara perekrutannya dilakukan secara tertutup dan menimbulkan keresahan. Gafatar, dari karakteristik dan pola gerakannya, termasuk salah satu yang menyimpang dan bisa membahayakan kehidupan sosial,” kata Saleh dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (13/1).

Saleh berpandangan, pola perekrutan anggota Gafatar dilakukan dengan berbagai metode. Tergantung target sasaran yang ingin direkrut. Termasuk, diantaranya melakukan pendekatan melalui kerja-kerja sosial yang bisa menarik simpati.

Dikalangan mahasiswa misalnya, Gafatar bisa saja melakukan perekrutan melalui halaqah, pertemuan terbatas, atau pengajian-pengajian kecil. Mahasiswa yang direkrut pada umumnya adalah mereka yang pengetahuan agamanya masih awam.
Gerakan seperti ini juga cenderung memanfaatkan tingkat pemahaman keagamaan yang terbatas. Tidak heran jika organisasi ini diikuti oleh mereka yang dinilai mapan secara intelektual dan finansial.

Selain itu, tidak tertutup kemungkinan organisasi seperti ini juga merekrut orang-orang yang secara ekonomi lemah. Mungkin karena tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, mereka ikut bergabung.

Masih kata Saleh, dengan adanya analisis metode seperti itu, maka tidak mudah mengatasi gerakan seperti Gafatar ini. Apalagi disinyalir organisasi ini bisa bermetamorfosis dari satu nama dan bentuk tertentu kepada nama dan bentuk lainnya. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama sinergis antara pemerintah dan masyarakat.

“Sebetulnya, masyarakat paling tahu tentang perubahan yang ada di sekitarnya. Masyarakatlah semestinya ujung tombak dalam menjaga lingkungannya. Jika ada yang dinilai aneh dan menyimpang, bisa langsung dilaporkan kepada pihak berwenang,”

“Pemerintah dituntut untuk proaktif melakukan sosilisasi tentang organisasi dan gerakan menyimpang yang saat ini ada di tengah masyarakat. Kementerian agama, misalnya, bisa memanfaatkan jaringannya sampai ke tingkat KUA di seluruh kecamatan yang ada. Melalui sosialisasi, pandangan kritis masyarakat akan terbangun,” tandas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang