Jakarta, aktual.com – Pemerintah diharapkan untuk menerapkan kebijakan energi lebih terintegrasi dan konsisten. Mengingat kebijakan energi juga akan turut mendukung ketahanan cadangan devisa. Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) sering melebar akibat tingginya impor, salah satu dari impor BBM. Ujungnya, mata uang rupiah pun rentan naik turun alias fluktuatif.

Awal tahun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memangkas jatah impor minyak mentah (crude) PT Pertamina (Persero). Pengurangan jatah impor minyak Pertamina tahun ini mencapai 3 juta barel atau 8.000 barel per hari. Pengurangan jatah impor minyak mentah dilakukan untuk menekan defisit neraca perdagangan.

Dengan dipangkasnya jatah impor minyak mentah, diharapkan lebih banyak menyerap produksi dalam negeri. Sedangkan untuk menekan impor BBM, pemerintah sudah menjalankan program biodiesel 30% atau B30.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finanance (Indef) Ucok Pulungan menegaskan, energi alternatif lain di luar gas, juga perlu didorong. Seperti penggunaan energi angin maupun air. Ia mengingatkan, meski dari sisi program banyak namun dari sisi dampak dan juga penggunaan masih sangat minim.

“Misal, sebenarnya pembangkit listrik tenaga bayu sudah dikembangkan di Sulsel. Tinggal diperbanyak. Program energi alternatif lain udah ada, karena itu jangan lagi menjadi wacana saja,” kata Uchok, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (4/6).

Uchok juga mengingatkan, pelemahan rupiah selain dampak kebijakan impor BBM tinggi juga karena kebijakan di sektor rill. Misalnya ekspor yang rendah lalu kebegantungan pada jasa asing dan aliran modal ke negara lain dari pendapatan investasi.

Sementara dari sisi moneter, BI sudah cukup baik mengawal rupiah. Jadi, kata Uchok, kalau sektor rillnya tidak beres, rupiah akan terdepresisi. Alhasil, perlu kebijakan yang berjalan bersamaan.

“Dalam kaitannya dengan BBM, maka terkait dengan impor. Namun pemerntah sudah berupaya dengan penggunaan B20. Sedikit banyak sudah terlihat dari penurunan volume impor BBM sepanjang 2019,” ucapnya.

Harga BBM murah dengan subsidi, juga bisa membuat program energi alternatif selain fosil bisa menjadi lambat. Memang, ada tendensi kalau harga BBM murah, insentif untuk mengembangkan energi altenatif jadi tidak menarik. “Itu yang selama ini terjadi. Tapi, saat harga BBM naik, baru kita panik,” ucap Uchok.

Uchok menilai, dalam penentuan harga BBM, perlu mempertimbangkan berbagai aspek termasuk pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Memang, ada koreksi harga niai tukar dan juga penurunan harga minya, tetapi harus tetap hati-hati dalam mengambil kebijakan harga BBM.

Ucok mengingatkan, saat ini lebih penting mendorong daya beli masyarakat tetap terjaga agar ekonomi lebih berputar, konsumsi rumah tangga tidak anjlok. Caranya, menekan inflasi pangan lewat operasi pasar di daerah, juga memastikan pendapatan masyarakat terjaga.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Febby Tumiwa, menyebut bahwa saat ini BBM subsidi diberikan pada BBM jenis diesel (solar) dan minyak tanah. Di APBN 2020, besarnya Rp18,7 triliun. Yang besar adalah subsidi LPG 3 kg senilai Rp49,4 triliun.

“Subsidi ini memang perlu dipangkas secara bertahap dan dialihkan kepada sektor lain yang produktif, tetapi pengalihan tersebut harus memastikan bahwa masyarakat miskin tetap bisa mendapatkan energi dalam jumlah yang cukup dan berkualitas,” ujar Febby.

Menurut data dari Kementerian Keuangan Indonesia, pada 2011 subsidi BBM mencapai Rp165,2 triliun, kemudian pada 2012 meningkat tajam menjadi Rp211,9 triliun. Pada tahun 2013 terjadi sedikit penurunan subsidi menjadi Rp 210 triliun, namun biaya ini meningkat kembali pada 2014 menjadi Rp240 triliun.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa bagian terbesar subsidi bahan bakar dinikmati oleh pemilik kendaraan roda empat (53%), dan bukan oleh pengendara motor (40%) dan angkutan umum (3%).

Bahkan, dalam laporan berjudul “Mengapa Mengurangi Subsidi Energi adalah kebijakan yang Matang, Adil, dan Transformatif bagi Indonesia?”, Chief Economist Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop, mengungkapkan data yang mengejutkan bahwa Rp178 triliun subsidi bahan bakar dinikmati oleh kelas menengah atas, dan bukan masyarakat miskin yang betul-betul memerlukan.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin