Jakarta, Aktual.com – Kementerian BUMN enggan untuk memberi komentar terkait polemik tarif interkoneksi yang rencananya akan diterapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
Padahal, jika kebijakan ini dilaksankan berpotensi akan meugikan keuangan negara dan menguntungkan operator asing yang beroperasi di Indonesia.
“Itu kan ranahnya di Kementerian Komunikasi dan Informasi. Kita enggan mengomentari dulu. Tunggu saja,” sebut Deputi Menteri BUMN, Gatot Trihargo, di Jakarta, Jumat (9/9).
Namun demikian, dia menyebutkan masalah ini masih dibahas di Komisi I DPR. Dan pihaknya tentu masih menunggu perkembangannya.
“Kan kabaranya juga masih ditunda ya (Peraturan Menkminfo). Pokoknya, kita tunggu saja ya,” ungkap dia.
Di tempat yang sama, Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, Alex J Sinaga juga menyerahkan masalah polemik kebijakan interkoneksi ini ke regulator.
“Kami kan pihak operator. Jadi kebijakan ini terserah pihak regulator saja,” tegas Alex.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR asal Fraksi Partai Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi meminta pemerintah untuk mengkaji ulang struktur 18 skema penurunan tarif tersebut. Yang jelas bagi dia, prinsipnya boleh turun, tapi dihitung ulang agar semua operator menyetujuinya.
Apalagi semua perusahaan operator itu sebagai perusahaan publik. Sehingga regulasi ini akan membuat satu pihak untung, tapi perusahaan lainnya akan rugi.
“Sehingga kondisi itu ujungnya akan membuat harga saham publik menurun. Ini yang harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah,” cetus Bobby.
Apalagi, kata dia, Dirut Telkom saat menyampaikan di Rapat Komisi I menegakkan, penetapan tarif baru ini telah menyalahi PP 52/2000, karena dianggap belum disetujui bersama oleh operator.
Manajer Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi mengatakan, jika kebijakan ini diberlakukan, berpotensi ada kerugian negara yang muncul karena hilangnya pajak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan deviden ke negara dari penurunan interkoneksi tersebut. Diperkirakan mencapai Rp53,9 triliun.
“Pajak dan PNBP yang tidak dibayarkan kepada negara sebesar Rp53,9 triliun jika dihitung selama lima tahun,” tegas Apung.(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid