Jakarta, Aktual.com — Kebijakan kemasan rokok polos akan merugikan industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia. Pemerintah Indonesia mendukung sikap Parlemen Prancis yang menolak penerapan kebijakan kemasan polos rokok di negaranya. Penolakan itu diputuskan oleh Komite Sosial dalam senat yang dipimpin oleh Richard Yung beberapa waktu lalu.
Negeri Anggur itu menolak kampanye kemasan rokok polos lantaran khawatir bakal melanggar undang-undang hak cipta. Selain itu, kalau Prancis menerapkan kebijakan kemasan rokok polos justru akan mendongkrak peredaran rokok palsu.
“Prancis memang menolak kebijakan kemasan rokok polos. Sementara Singapura saat ini sedang dalam tahapan konsultasi publik,” tegas Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi, saat dihubungi wartawan, Kamis (13/8).
Catatan saja, ekspor produk tembakau Indonesia ke Singapura pada 2014 mencapai US$ 139,99 juta, menurun 9,66 persen dibanding periode sebelumnya yang mencapai nilai US$ 154,96 juta. Jika kebijakan baru ini diberlakukan, ekspor produk rokok dan produk tembakau Indonesia diperkirakan makin merosot.
Bachrul berharap, Singapura yang berencana menerapkan kebijakan kemasan polos seperti Australia, agar menunggu keputusan sengkata WTO. Jika Indonesia menang, maka kebijakan kemasan polos di setiap negara bisa dipersoalkan oleh WTO. “Kami berharap Singapura juga bisa menahan diri sampai dispute selesai,” tandasnya.
Saat ini, melalui WTO (World Trade Organization), Indonesia tengah menggugat Australia terkait kebijakan kemasan polos produk rokok. Menurut Bachrul, kemasan rokok polos mencederai hak anggota WTO yang sudah meneken perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Kebijakan kemasan polos produk rokok yang diberlakukan Australia berimplikasi luas pada perdagangan dunia, khususnya Indonesia terutama dari sisi kinerja ekspor.
“Kami tidak menentang cara-cara meningkatkan kualitas kesehatan, tapi tentu saja cara-cara itu harus sesuai dengan ketentuan di WTO. Dan kebijakan kemasan polos bertentangan dengan TRIPS, hak paten setiap negara, dimana itu sudah diakui WTO,” tegas Bachrul.
Bahcrul mengingatkan, setiap perusahaan atau industri yang memiliki hak paten berhak melindungi hak paten tersebut. Kemudian dari setiap logo produk dan bentuk diferensiasinya seringkali melalui sebuah riset produk yang panjang. Dengan upaya itu tentu saja si pemilik logo memiliki hak penuh untuk mempertahankan.
Tidak hanya soal hak paten, kebijakan rokok polos pada akhirnya akan berdampak kepada kehidupan petani tembakau dan industri rokok nasional. Ia mengingatkan, industri rokok menyumbang 1,66% total Gross Domestic Product (GDP) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor ke dunia yang nilainya pada 2013 mencapai US$ 700 juta.
Selain itu, industri rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di industri rokok secara langsung dan tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh
Kebijakan kemasan polos juga bisa dinilai sekaligus merupakan bentuk diskriminasi terhadap produk tembakau sebagai salah satu komoditas strategis Indonesia. Di sisi lain, kebijakan tersebut mampu melemahkan daya saing produk tembakau Indonesia di negara-negara yang menerapkannya.
Asal tahu saja, kemasan polos rokok merupakan salah satu bentuk pedoman yang diformulasikan dalam Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau ‘Framework Convention on Tobacco Control’ (FCTC) yang diusung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Di sisi lain, para petani tembakau memperkirakan perkembangan FCTC kian mengancam keberadaan petani tembakau secara sistematis. Contoh melalui berbagai pedomannya yang eksesif dan tidak rasional terutama kemasan polos rokok.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka