Jakarta, Aktual.co — Analis Ekonomi AEPI (Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia) Kusfiardi mengatakan bahwa perekonomian Indonesia saat ini tengah dirundung defisit perdagangan, defisit neraca berjalan dan defisit keseimbangan primer. Ketiganya turut andil menjadi faktor merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Amerika Serikat (US$).
Menurutnya, sejauh ini otoritas moneter dan otoritas fiskal tidak memiliki kebijakan yang bisa diandalkan untuk mengatasi tiga hal tersebut. Bahkan kebijakan yang diambil justru berdampak kontraktif. “Tidak terlihat ada indikasi untuk melakukan perbaikan tiga defisit yang sedang merundung perekonomian nasional,” kata Kusfiardi saat dihubungi wartawan, Jakarta, Rabu (25/3).
Ia berpendapat, dengan situasi seperti itu tentu menjadi sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. “Apalagi untuk mendorong penguatan fundamental ekonomi, juga menjadi semakin jauh dari yang diharapkan”.
“Respon otoritas kebijakan justru memperlihatkan ketidakberdayaan dalam menghadapi liberalisasi sektor keuangan dan liberalisasi sektor perdagangan yang tengah berlangsung saat ini,” jelas dia.
Ia menilai, situasi ini berpotensi menimbulkan masalah yang lebih serius terkait stabilitas perekonomian nasional. Agar situasi tak terus memburuk, maka otoritas kebijakan harus berani mengambil langkah tegas yang bisa mencegah keadaan semakin memburuk.
Lebih lanjut, Kusfiardi menuturkan, untuk mengatasi itu, Pemerintah harus menerapkan Law enforcement penggunaan rupiah untuk bertransaksi di dalam negeri. Kedua, memberlakukan kewajiban menaruh devisa hasil ekspor di dalam negeri. Menghentikan impor pangan untuk mengurangi kebutuhan akan dolar AS. Mendorong intensifikasi untuk meningkatkan produktifitas sektor pangan nasional.
“Tanpa langkah-langkah tersebut, pemerintah akan sulit mengatasi melemahnya nilai tukar yang dampaknya sudah meluas ke berbagai sektor. Target pertumbuhan (diperkirakan) di bawah angka pertumbuhan APBN-P,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
















