Menurut Fadli, kebijakan Trump ini merupakan reformasi pajak terbesar di AS sejak era 1980-an. Trump sendiri telah memangkas pajak korporat dari sebelumnya 35% kini menjadi 21% dan akan mengurangi beban pajak untuk individu.

“Sehingga kebijakan ini pasti akan berpengaruh terhadap perekonomian global. Ditambah oleh kenaikan suku bunga acuan The Fed tersebut efeknya bisa jadi berganda,” kata dia.

Ancaman repatriasi ini, kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini, semakin memperkuat nilai tukar dollar. Dan hal ini tentu saja akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Pasalnya, setiap penurunan nilai tukar rupiah, beban pembayaran cicilan utang dan bunga utang pemerintah tentu akan jadi kian membengkak.

“Karena semuanya dibayar dengan dollar. Sebagai gambaran, per Oktober 2017, total utang luar negeri kita mencapai US$341,52 miliar, atau sekitar Rp4.603 triliun. Dengan angka tersebut, beban pembayaran bunga utang kita tahun depan diperkirakan bisa di atas angka Rp300 triliun,” jelasnya.

Untuk itu, kata dia, pemerintah dan otoritas moneter kini dituntut berpikir cerdik. Jika pihak otoritas moneter menghadapi kenaikan suku bunga acuan The Fed dengan menaikan juga suku bunga acuannya di dalam negeri, yakni BI 7 Day Repo Rate, maka itu akan kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah selama ini yang berusaha untuk menekan tingkat suku bunga kredit di bawah dua digit.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid