Jakarta, Aktual.com — Menteri Energi dan Sumber Daya Energi Sudirman Said akhirnya menunda pengenaan dana ketahanan energi atau “Pungutan BBM” yang rencananya akan diterapkan pada Selasa, 5 Januari 2015.

Sebelumnya Menteri Sudirman Said, menyatakan penurunan harga BBM premium yang semula Rp7.300 per liter menjadi Rp6.950 per liter. Dari harga keekonomian tersebut, Pemerintah akan memungut dana ketahanan energi Rp200 per liter, sehingga harga baru premium Rp7.150 per liter atau turun Rp150 per liter dari harga sebelumnya.

Namun kenyataannya, Direktur Utama Pertamina Dwi Sucipto mengumumkan bahwa harga solar akan turun dari Rp 6.700 menjadi Rp 5.650. Harga premium untuk non-Jamali (Jawa, Madura, dan Bali) turun dari Rp 7.300 menjadi Rp 6.950, sedangkan harga premium untuk Jamali turun dari Rp 7.400 menjadi Rp 7.050.

“Ini jelas merupakan kebijakan mencla-mencle. Praktik mencla-mencle ini, jelas bukanlah praktik pengurusan negara yang baik dan benar,” ujar Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dan Pengajar FH Universitas Tarumanagara Ahmad Redi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (5/1).

Menurutnya, praktik mencla-mencle ini merupakan bentuk dagelan dari Menteri Sudirman Said terhadap masyarakat. Walau rakyat tentunya senang dengan turunnya harga BBM dan penundaan pungutan BBM tersebut, namun kegaduhan yang dimunculkan oleh tindakan Menteri Sudirman Said sebaiknya tidak perlu terjadi.

“Harus ada suatu cost benefit analysis yang mumpuni sebelum rencana kebijakan tersebut dirilis ke publik sehingga potensi resistensi akan dapat diminimilisir,” tambahnya.

Bukan sebaliknya, persoalan yang sederhana namun karena dibungkus dengan irasionalitas maka akan menjadi persoalan kompleks.Diperlukan kajian social and economic regulatory impact atas rencana kebijakan yang benar-benar dikaji secara paripurna.

“Rakyat sebagai sasaran kebijakan jangan seolah-olah dipermainkan dengan kebijakan yang mencla-mencle dan membuat gaduh banyak kalangan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka