Jakarta, Aktual.com – Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengenakan bea masuk kepada produk China merupakan tindakan perdagangan yang tidak adil.

“Kebijakan Amerika Serikat tidak adil kepada China. Kebijakan AS akan membebani ekonomi kedua negara,” ujar Direktur Institut Studi Internasional, Universitas Nanjing, Prof. Zhu Feng dalam diskusi “Hubungan China – Amerika Serikat” di Jakarta, Rabu (3/7).

Ia mengatakan kebijakan AS terkait pelarangan penggunaan teknologi 5G dari China juga tidak adil.

Kebijakan-kebijakan tersebut mencederai sistem peraturan internasional maupun prosedur perdagangan bebas multilateral.

“Industri-industri China baik itu teknologi selular, jaringan, militer, perangkat dan sebagainya dikembangkan mulai dari nol. Kami kembangkan industri-industri itu dari bawah, kemudian menengah hingga menembus level atas. Lalu untuk apa mereka khawatir dalam menjalin perdagangan dengan kami,” ujar Zhu Feng.

Setiap negara, lanjut dia, berhak untuk menguasai segala jenis teknologi dan menjadi negara maju.

Ia mencontohkan bagaimana Indonesia saat ini mulai berupaya untuk menjadi negara maju dalam beberapa tahun mendatang.

“Itu adalah hal yang normal dan kita mendukung itu,” ujar dia.

China, lanjut dia, sangat terbuka dalam menjalin perdagangan dengan seluruh negara baik itu negara berkembang maupun negara maju.

Selama berkuasa, Presiden Trump menegaskan komitmen “America First” atau “Amerika yang Pertama”.

Hal itu tertuang dalam hampir semua kebijakannya sebagai upaya melindungi kepentingan rakyat Amerika Serikat.

Dalam ekonomi maupun perdagangan, Trump menerapkan kebijakan proteksionisme, salah satu upayanya yaitu mengenakan tarif produk impor.

Pengenaan tarif yang tinggi kepada produk buatan China memicu tindakan balasan dari negeri tirai bambu itu.

“Apa yang saat ini kami lakukan adalah spontanitas akibat dari kebijakan AS yang tidak adil itu,” kata dia.

Meskipun demikian, lanjut Zhu Feng, China siap bernegosiasi dengan Amerika Serikat untuk mencari solusi dari perang dagang antara kedua negara. Solusi tersebut harus berdasarkan atas prinsip “win-win solution”.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan