Jakarta, Aktual.com – Research Coordinator Next Indonesia Center, Sandy Pramuji mengungkapkan, ketergantungan Indonesia terhadap impor Liquified Petroleum Gas (LPG) sangat tinggi. Pada 2024, sekitar 77,64 persen kebutuhan LPG domestik dipenuhi dari luar negeri.
“Biaya impor gas alam pun terus melonjak untuk memenuhi kebutuhan domestik yang tidak sebanding dengan produksi dalam negeri,” kata Sandy dalam keterangan persnya, Jakarta, Sabtu (11/10/2025).
Pada tahun 2023, Indonesia mengimpor LPG sekitar 6,950,651 ton. Tahun 2024 tidak jauh berbeda: sekitar 6,89 juta ton dengan nilai impor sekitar US$ 3,79 miliar, sekitar Rp61,5 triliun.
Hal ini karena produksi gas alam dalam negeri masih relatif rendah, sekitar 1,7 hingga 2 juta ton per tahun. Sementara, kebutuhan nasional diperkirakan sekitar 8 juta ton per tahun.
Amerika Serikat (AS) menjadi pemasok terbesar LPG Indonesia, sekitar 53–57 persen dari total impor dengan nilai mencapai US$ 2,03 miliar atau 33,03 triliun. Negara kedua penyumbang impor LPG untuk Indonesia yakni Qatar mencapai US$ 0,4 miliar atau setara Rp 6,5 triliun dengan porsi mencapai 11 persen. Ketiga yakni United Arab Emirates dengan nilai US$ 0,39 miliar atau Rp 6,35 triliun atau 10 persen.
Menurut Sandy, rendahnya produksi LPG domestik disebabkan oleh beberapa faktor, terutama terbatasnya fasilitas fraksinasi yang berfungsi untuk memisahkan propana dan butana dari gas alam.
“Pembangunan fasilitas ini memerlukan biaya yang sangat besar, sehingga kilang yang ada lebih memilih untuk fokus pada ekspor LNG yang lebih menguntungkan. Akibatnya, produksi LPG dalam negeri cenderung stagnan selama dua dekade terakhir, sementara konsumsi terus meningkat tajam sejak program konversi minyak tanah ke gas pada tahun 2007,” papar Sandy.
Kondisi itu, katanya, menimbulkan masalah terkait pengadaan LPG 3 kilogram (kg) atau yang dikenal sebagai ‘gas melon’. Pertama, tingginya biaya impor, dan kebutuhan gas melon yang semakin meningkat menyebabkab nilai subsidi yang harus ditanggung Pemerintah naik drastis, sempat melampaui Rp100 triliun pada tahun 2022.
“Di lapangan, kesenjangan yang lebar antara harga subsidi dan harga keekonomian memicu praktik curang ‘LPG oplosan’, di mana isi gas dari tabung 3 kg bersubsidi dipindahkan ke tabung 12 kg non-subsidi untuk dijual dengan harga lebih mahal,” ungkapnya.
Sandy menyampaikan, untuk keluar dari masalah ini pihaknya merekomendasikan beberapa langkah strategis. Di antaranya adalah mendorong investasi pada infrastruktur LPG, meningkatkan produksi domestik, dan memperluas jaringan gas kota (jargas) sebagai alternatif.
“Pemerintah juga harus mencoba mengembangkan gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sebagai substitusi LPG,” ucapnya.
Pemerintah, kata Sandy, juga harus melakukan perbaikan mekanisme subsidi agar lebih tepat sasaran, serta peningkatan transparansi dalam perdagangan gas untuk menutup celah aliran dana gelap.
“Karena, ada laporan praktik trade misinvoicing atau pemalsuan faktur dalam transaksi ekspor-impor gas dengan beberapa negara mitra dagang utama,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















