Jakarta, Aktual.com – Pengamat menilai beberapa asumsi makro dalam Rancangan APBN 2017 menunjukkan kontradiksi yang aneh. Satu sisi perlu melakukan pemangkasan anggaran dengan alas an efisiensi tapi nyatanya jstru banyak anggaran subsidi yang dinaikkan mencapai 14 persen. Padahal di awal tahun ini subsidi energi, yaitu subsidi listrik dicabut yang malah korbankan daya beli yang langsung anjlok.
“Ini jelas hanya kepentingan politik saja, yakni tahun 2018 sudah jadi tahun politik, sehingga subsidi dinaikkan, padahal di awal tahun ini subsidi listrik dicabut. Ini kebijakan yang aneh. Seakan-akan kita masuk ke perangkat pemerintah,” jelas Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Minggu (27/8).
Padahal kata dia semua tahu, akibat pemangkasan subsidi lisrik kelas 900 volt ampere (VA) di awal tahun ini telah membat daya beli masyarakat menurun. Apalagi sudah terjadi cukup lama bahwa konsumsi rumah tangga itu sudah menurun sejak beberapa tahun lalu. dan pemerintah tahu hal itu, tapi tak mau mengakuinya. Akhirnya subsidi pun dicabut. Sekarang daya beli masyarakat pun makin anjlok.
“Bahkan saat ini diketahui bahwa data subsidi yang dicabut itu datanya antara dari PLN dan TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) itu berbeda. Memang dari 18,7 juta pelanggan 900 VA itu hanya yang wajib menerima subsidi itu 4,1 juta. Taoi kemudian dikoreksi. Ternyata lebih dari 4,1 juta yang berhak, tapi kan sudah dipangkas,” ujar Bhima.
Tapi kemudian anehnya kebijakan subsidi di 2018 itu malah dinaikkan. “Ini ada apa? Kenapa subsidi energi dinaikkan malah di saat jelang Pilpres? Ini jelas permainan ekonomi pemerintah yang manipulatif, bukan bentuk keberpihakan ke masyarakat kecil, ” kecam dia.
Bahkan sambung dia dana subsidi sosial seperti dana Program Keluarga Harapan (PKH) juga naiknya luar biaa. Ditambah lagi mekanise pemyalurannya juga melalui online dengan e-warung, sementara masyarakat miskin itu lebih banyak di pelosok desa yang tak ada infrastrukturnya. Sehingga akuntabilitas dananya pun jadi masalah sendiri.
Bhima juga mempermasalahkan kebijakan pemangkasan di anggaran pemerintah daerah. Dalih pemerintah justru mempermasalahkan dana pemad yang mangkrak sebanyak Rp240 triliun di BPD.
“Itu jadi pembenaran pemerintah agar bisa pangkas dana transfer daerah. Sehingga belanja di daerah pun akan sangat terbatas. Jika begitu, bagaimana pemerintah bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi di level 5,4 persen tahun depan? Ini kebijakan yang aneh hanya mengorbankan rakyat kecil,” ujarnya.
Pewarta : Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs