Yogyakarta, Aktual.com – Putri almarhum sastra Indonesia WS Rendra, Naomi Srikandi, menolak rencana pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) Kulonprogo. Naomi bergabung dengan puluhan elemen masyarakat sipil yang menyuarakan penolakan pembangunan NYIA.

Menurut Naomi, masyarakat yang sekarang merasa jadi bagian orang-orang yang kosmopolit dan berpikir global sudah seharusnya berfikir kritis terhadap kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat.

“Saya ajak teman-teman seniman dan masyarakat luas yang sepertinya belum paham atau tidak banyak dapat informasi seimbang, rencana pembangunan NYIA Kulonprogo ini harus kita gugat, kita persoalkan,” tegasnya pada Aktual, Kamis (26/1).

Diungkapkan, selama ini warga Kulonprogo hidup rukun dan damai dengan menyandarkan pertanian sebagai mata pencaharian. Selain bertani, banyak budaya yang terancam hilang dengan adanya pembangunan NYIA.

Banyak kearifan lokal yang seharusnya dijaga namun belakangan terusik dengan adanya mega proyek tersebut. Alasannya yang selalu disampaikan kepada masyarakat adalah investasi pariwisata dengan tetap mengangkat kearifan lokal.

“Kearifan lokal yang mana? Itu harus dikritisi,” kata Naomi.

Bila pemerintah mencanangkan destinasi wisata namun membunuh kultur masyarakat, lanjut dia, maka sama saja melakukan kejahatan pada kebudayaan. Bagi Naomi, hal yang membuat kehidupan di Kulonprogo berdaulat atas ruang hidupnya adalah karena pertanian.

Kultur bertani yang dimiliki penduduk Kulonprogo, local wisdom, mengandung kompleksitas seorang petani yang berdikari dalam menyiasati kehidupan. Melalui pembangunan NYIA, masyarakat lantas ‘dipaksa’ dan ditukar menjadi sekumpulan petugas cleaning service, satpam atau security bandara.

“Awalnya mereka punya lahan dan alat produksi kok, mereka bermartabat dengan itu, tapi itu akan diambil tanpa punya pilihan lain selain bekerja sebagai buruh. Kita akan berjuang untuk keadilan buruh, ini petani malah mau dijadikan buruh,” urainya.

Kepada rekan-rekannya sesama seniman Yogyakarta, Naomi mengajak agar bersama-sama menghasilkan karya dengan memperhatikan dialektika antara seni dengan kenyataan lingkungan. Sebab apalah arti kesenian jika terpisah dari persoalan kehidupan.

“Coba tengok seruan dari petani-petani (Kulonprogo) ini, disimak, luangkan waktu sebentar, lihat kenyataan dan tentukan sikap. Sudah saatnya kita bertanya pada Raja Jogja, yang sekaligus Gubernur, sekaligus pengusaha. Rakyat mau diapakan?,” pungkasnya.

(Nelson Nafis)

Artikel ini ditulis oleh: