Jakarta, aktual.com – Setelah sebelumnya diceritakan bahwa Imam Syadzili bertemu dengan Gurunya, Syekh Abdul Salam ibn Masyisyi di gua tempat ibn Masyisyi menghabiskan waktu untuk beribadah.
Imam Syadzili langsung terpukau oleh ketakwaan, kealiman dan kedalaman pengetahuannya tentang tasawuf Sunni. Ia menyukai gurunya ini yang berpandangan bahwa tasawuf sejati itu bersumber dari kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw.
Salah satu nasihat yang penting yang selalu diingat Imam Syadzili, antara lain, “Amal paling mulia adalah empat setelah empat. Empat pertama adalah cinta kepada Allah, Rida dengan ketentuan Allah, berpantang pada dunia (Zuhud), dan tawakal kepada Allah Swt. Empat berikutnya adalah mengerjakan yang diwajibkan Allah, menjauhi yang diharamkan Allah, sabar menghadapi yang tak diinginkan, dan menahan diri dari yang disukai,”.
Imam Syadzili tinggal cukup lama bersama gurunya itu, belajar dan mengikuti jalan mistiknya. Melihat dari dekat, menyimak, dan menghafalkan nasihatnya serta melaksanakannya dengan antusias sehingga jalan ruhaninya maju pesat.
Sampai akhirnya sang guru menyarankan, “Ali, pergilah ke Afrika. Tinggallah di sebuah negeri bernama Syadzilah, karena kelak Allah akan memberimu nama al-Syadzili,”.
Selain itu, ibn Masyisyi juga menyarankan agar kelak Imam Syadzili pindah ke Tunisia, lalu kembali ke Maroko. Perjalanan hidup Imam Syadzili ditentukan sang guru, seakan-akan gurunya itu melihat dengan cahaya Allah hari-hari yang akan dijalaninya dan apa yang akan terjadi.
Setelah itu, Imam Syadzili berangkat menuju Tunisia dan menetap di bukit Zaghwan ditemani seorang saleh, Abu Muhammad al-Habibi. Di tempat inilah ia menghabiskan waktu untuk beribadah dan merenung hingga jiwanya benar-benar bersih dan ruhnya mencapai maqam makrifat. Ia menetap di tempat itu hingga ketakwaan dan keilmuannya benar-benar matang dan ia merasa siap untuk menyebarkan ilmunya kepada masyarakat luas.
Bersambung.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain