Jakarta, aktual.com – Setelah ujian dan fitnah itu berlalu, Imam al-Syadzili memutuskan berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan menuju Makkah, ia melewati Mesir. Rupanya ujian lain telah menunggunya di sana. Ibn al-Barra’ yang mengetahui rencana perjalanan Imam al-Syadzili, telah lebih dahulu melayangkan surat kepada penguasa Mesir, al-Kamil Muhammad al-Ayyub.
Ia mengingatkan Sultan Mesir agar berhati-hati jika Imam al-Syadzili tiba di negerinya. Ibn al Barra’ berusaha memengaruhi pandangan penguasa Mesir itu dan mengingatkan adanya ancaman dari sisi politik jika membiarkan Imam al-Syadzili lewat atau singgah beberapa saat di Mesir dalam perjalanannya menuju Makkah. Sebagai pemimpin sebuah negara besar, tentu saja sultan harus waspada dan hati-hati demi menyikapi berbagai kemungkinan. Surat yang dilayangkan Ibn al-Barra itu pun ditanggapinya secara saksama. Ia tidak mengabaikan begitu saja peringatan hakim agung Tunisia itu.
Namun, ia pun tak serta-merta menerima dan memercayainya. Maka, ketika mendengar kabar kedatangan Imam al-Syadzili di Negerinya, sultan mengumpulkan beberapa ulama dan mengundang sang Imam untuk menghadiri jamuan makan bersama dirinya dan para ulama. Jamuan dan pertemuan berlangsung santai namun khidmat. Sultan dan para ulama Mesir menanyakan berbagai hal kepada Imam al-Syadzili, termasuk maksud kedatangannya di Mesir. Akhirnya, setelah obrolan yang cukup panjang, sultan dan para ulama Mesir meyakini bahwa Imam al-Syadzili hanyalah korban kedengkian Ibn al-Barra’.
Ia dibebaskan dari semua tuduhan dan serangan yang dilancarkan sang hakim. Mereka sadar, Imam al-Syadzili datang ke Mesir sekadar singgah dalam perjalanannya menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Karena itulah sultan menerima kedatangan sang Imam dengan penuh penghormatan dan penghargaan.
Setelah menunaikan ibadah haji, Imam al-Syadzili kembali ke Tunisia bersama beberapa murid dan pengikutnya, termasuk murid utamanya, Abu al-Abbas al-Mursi. Semakin hari, pengaruh Imam al-Syadzili semakin luas. Semakin banyak orang datang mendengarkan nasihat-nasihatnya, mengikuti petuahnya, dan menyerahkan diri mereka untuk menjadi murid dan pengikutnya. Al-Syadzili menghadapi dengan penuh ketulusan semua ujian yang datang dalam berbagai bentuk, baik yang halus maupun kasar, baik berupa serangan, kesulitan, maupun kenikmatan, rasa nyaman, dan kecintaan banyak orang terhadap dirinya.
Rupanya perjalanan ruhani yang harus ditempuh al-Syadzili belum usai. Setelah ujian demi ujian datang, ia kembali harus berhijrah mengikuti perintah sang kekasih. Suatu hari ia bermimpi didatangi Rasulullah yang bersabda kepadanya, “Hai Ali, pindahlah ke Mesir Di sana kau akan bertemu dengan empat puluh orang teman.”
Baginya, mimpi itu adalah perintah yang harus segera ditunaikan. Maka, tanpa pikir panjang ia segera mempersiapkan diri untuk berhijrah ke Mesir. Ia tinggalkan semua kekayaan, ketenaran, serta pengikut dan muridnya di Tunisia demi memenuhi perintah Rasulullah. Ia pindah ke Mesir dan menetap di Iskandaria hanya ditemani murid utamanya, Abu al-Abbas al-Mursi.
Ia memasuki Negeri Piramida itu pada 715 Hijriah dan memilih Masjid al-Atharin sebagai pusat kegiatan tarekat dan dakwahnya. Mesir bukanlah tempat yang asing baginya. Ia pernah singgah dan menetap beberapa hari di Negeri itu dalam perjalanannya menuju Makkah. Penguasa Mesir dan beberapa ulama di negeri itu telah mengenalnya. Maka, ketika terdengar kabar bahwa Imam al-Syadzili menetap di Iskandaria, orang-orang mulai mendatanginya, seperti laron mendekati cahaya.
Hari demi hari jumlah murid dan pengikutnya terus bertambah, Mereka mendekati, mengikuti, dan mencintainya karena ketakwaan dan kealimannya. Para pembesar dan petinggi negeri itu pun mengunjunginya, termasuk juga para ulama besar, seperti Syekh Izzuddin ibn Abdul Salam dan Syekh Taqiyuddin ibn Dagig al-ld.
Ketika mendengar al-Syadzili bicara, Syekh Izzuddin ibn Abdul Salam berkata, “Simak ucapan orang asing yang begitu dekat dengan Allah ini,” Maksudnya, Imam al-Syadzili memiliki kesucian ruhani sehingga setiap ucapannya merupakan ilham dari Allah Swt.
Para pengikut dan pecintanya tidak hanya berasal dari kalangan awam dan masyarakat biasa. Para alim, para syekh, dan juga pejabat negara datang mengunjunginya, menyimak setiap nasihatnya, dan mengikuti petuahnya. Al-Syadzili juga kerap mengunjungi penguasa di istana mereka dan menyampaikan petuah serta nasihat kepada mereka.
Penerimaan dan pengakuan penduduk Mesir membuat al-Syadzili nyaman dan tenang tinggal di sana. Tak ada makar, tak ada muslihat. Bahkan, al-Syadzili bisa leluasa bercocok tanam di atas beberapa bidang tanah miliknya. Tanah-tanah itu menjadi sumber penghasilan untuk menghidupi diri, keluarga dan murid-muridnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain