Jakarta, aktual.com – Indonesia adalah negeri para pejuang, bukan negeri para begundal. Itu sebabnya setiap tahun kita peringati Hari Pahlawan. Dalam ungkapan Bung Hatta, ”Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Berjuang, ”berusaha dgn segala tenaga dan kemampuan” itulah urat nadi keindonesiaan, yg membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan yang dalam tentang arti keadilan dan komitmen yang kuat untuk mewujudkannya.

Itulah sebabnya, dalam Pancasila, kata ”keadilan” ditonjolkan dgn menempatkannya di dua sila sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan; pada sila kelima, keadilan itu dijadikan tujuan perjuangan.

Dengan itu, para pendiri bangsa mewariskan kepada kita alasan (landasan) dan tujuan perjuangan kebangsaan. Sedemikian terangnya alasan, isi, dan haluan perjuangan keindonesiaan itu sehingga seorg ahli sejarah, Rutger, menyatakan, ”Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia-lah yg dlm konstitusinya pertama-tama dan paling tegas memberikan latar psikologis yg sesungguhnya dari perjuangan revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, Pancasila, dilukiskannya alasan dan tujuan secara lebih mendalam dari revolusi itu.”

Jika Indonesia ada karena perjuangan dan komitmen luhur menegakkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan, Indonesia terancam karam seiring dengan pemudaran tekad kejuangan dan komitmen keadilan.

Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, melainkan kehilangan harga diri, yang membuat elit negeri lebih rela menjadi pelayan kerakusan ketimbang pelayan rakyat.

Kehilangan harga diri jadi pintu masuk bagi keberanian korupsi. Adapun korupsi pejabat tinggi sumber pembusukan moral dan komitmen keadilan. Situasi kegentingan ini harus menjadi panggilan sejarah baru agar kita terhindar dari “kehilangan Indonesia”.

Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain