Jakarta, Aktual.com — Kejaksaan Agung enggan menyebut bahwa Panja Mobile8 Telecom yang bergulir di DPR RI merupakan upaya menghalang-halangi proses penyidikan tindak pidana korupsi restitusi pajak PT Mobile8 Telecom tahun 2007-2009.
“Saya nggak bisa komentar hal itu, apakah itu menghalangi penyidikan atau bukan,” kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah, di komplek Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (18/3).
Meski demikian, Armisnyah memandang Panja Mobile8 tersebut merupakan sarana komunikasi lembaga penegak hukum dengan DPR yang merupakan mitranya dalam penegakan hukum.
“Tapi yang jelas, kita melihat Panja adalah sarana komunikasi antara penegak hukum dan DPR, dan kita sudah hadir tiga kali. Dua kali saya dan terkahir saya nggak ikut, Pak Dirdik mewakili saya,” katanya.
Berdasarkan laporan direktur penyidikan (Dirdik), lanjut Arminsyah, Panja mempersilakan Kejagung untuk mengusut tuntas kasus dugaan korupsi restitusi pajak PT Mobile8 Telecom yang diduga merugakan negara sekitar Rp 10,7 milyar.
“Laporan lisan Pak Dirdik ke saya, pimpinan Panja mengatakan silakan saja, tapi saya dengar dari kesimpulan Panja, lain lagi. Ya kita lihatlah nanti,” ujar Arminsyah.
Saat wartawan menanyakan, apakah keputusan Panja yang berbeda dengan Kejagung sangat mengganggu penyidikan Mobile8, Arminsyah belum bisa berkomentar. “Ya kita cermati nanti,” ucapnya.
Terkait perbedaan tersebut, Arminsyah mengatakan, pihaknya akan memberikan tanggapan. “Mungkin kita akan menyampaikan juga tanggapan, Tapi nantian karena itu kan terserah jaksa agung yah, bukan pada Jampidsus. Setahu saya, ya kepada jaksa agung, tembusan nggak ada Jampidsus juga. saya akan menyarankan, kita akan tetap melakukan penyidikan,” tandasnya.
Kejagung mensinyalir PT Mobile8 Telecom memanipulasi transaksi penjualan produk telekomunikasi, di antaranya telepon seluler dan pulsa kepada distributor di Surabaya, yakni PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) senilai Rp 80 milyar selama tahun 2007-2009.
PT DNK tidak sanggup membayar pembelian barang produk komunikasi senilai Rp 80 milyar kepada PT Mobile8 Telecom selama tahun 2007-2009 itu. Sesuai keterangan Direktur PT DNK, Eliana Djaya, bahwa traksaksi senilai Rp 80 milyar tersebut merupakan hasil manipulasi untuk menyiasati seolah-olah ada transaksi sejumlah itu.
Untuk kelengkapan administrasi, pihak Mobile8 Telecom akan mentransfer uang sebanyak Rp 80 milyar ke rekening PT DNK.
Pada Desember 2007, PT Mobile8 Telecom dua kali mentransfer dana, masing-masing Rp 50 milyar dan Rp 30 milyar. Untuk menyiasati agar seolah-olah terjadi jual-beli, maka dibuat invoice atau faktur yang sebelumnya dibuat purchase order.
Setahun kemudian, PT DNK, menerima faktur pajak dari PT Mobile8 Telecom yang total nilainya Rp 114.986.400.000. Padahal, PT DNK tidak pernah melakukan pembelian dan pembayaran, serta menerima barang.
Faktur pajak yang telah diterbitkan seolah-olah ada transaksi-transaksi antara PT Mobile8 Telecom dengan PT DNK, digunakan oleh PT Mobile8 Telecom untuk pengajuan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada KPP Surabaya, supaya masuk bursa di Jakarta.
Atas ajuan tersebut, pada tahun 2009, PT Mobile8 Telecom menerima pembayaran restitusi pajak sejumlah Rp 10.748.156.345. Seharusnya, PT Mobile8 Telecom tidak berhak mendapatkan uang sejumlah Rp 10,7 milyar lebih tersebut karena tidak pernah ada jual-beli barang.
Karena KPP Surabaya mengabulkan permohonan kelebihan pajak atas dasar transaksi jual-beli fiktit PT Mobile 8 Telecom yang saat itu dimiliki Harry Tanoesoedibjo, negara mengalami kerugian sekitar Rp 10 milyar.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby