Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai telah menyalahi aturan dalam pemblokiran rekening milik Yayasan Supersemar. Hal itu, mengundang Yayasan milik almarhum mantan Presiden Soeharto menggugat institusi pimpinan HM Prasetyo tersebut.
Jakarta, Aktual.com — Pengamat Kejaksaan, Kamilov, menilai wewenang pemblokiran bukan di Kejaksaan melainkan di Pengadilan.
“Bukan karena ingin membela yayasan tersebut. Bukan wewenang kejaksaan melalui tim gabungan yang terdiri dari Jamdatun, Jamintel dan Pusat Pemulihan Aset,” ujar Kamilov, di Jakarta, Senin (11/1).
Menurut dia, sejatinya Kejaksaan memang memiliki pemblokiran terhadap aset atau rekening, namun hal ini berbeda untuk kasus Supersemar.
Terlebih, pemblokiran aset supersemar tersebut diinformasikan ke publik. “Padahal kan pemblokiran langkah intelijen. Jangan karena ingin terlihat bekerja, semua aturan perundang-undangan ditabrak,” kata dia.
Dirinya mempertanyakan pengusul pemblokiran aset supersemar tersebut.
“Harus dieksaminasi karena berimbas digugatnya Jaksa Agung HM Prasetyo maupun Presiden Joko Widodo. Karena ada kesalahan prosedural yang fatal akibat mengusulkan pemblokiran tersebut,” imbuhnya.
Ia menambahkan, semestinya tugas kejaksaan hanya menginventarisir dan melakukan penelusuran saja. “Kan pekerjaan ini dilakukan oleh Jamdatun, Jamintel dan Kepala PPA. Nah siapa yang mengusulkan memblokir, ya harus diberi sanksi atas kecerobohannya tersebut,”sahutnya.
Kesalahan tersebut, kata Kamilov, menjadi bukti bahwa tim gabungan terutama Kepala PPA, sangat tidak paham akan pemulihan aset ataupun KUH Perdata.
“Juru sita itu yang berhak mengeksekusi. Kejaksaan cuma melakukan pendampingan, bukan memblokir. Inilah repotnya menempatkan seseorang yang tidak paham pemulihan aset sebagai Kepala PPA. Saya rasa DPR harus mempertanyakan kinerja para aparat di kejaksaan ini,” tandasnya.
Diketahui, gugatan tersebut sudah didaftarkan sejak Desember di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor 783/PDT.G/2015/PN JKT.SEL.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby