Jakarta, Aktual.com — Pada akhir pekan lalu, Kejaksaan Agung menggeledah kantor PT Victoria Securities Indonesia di Panin Tower, Senayan. Penggeledahan ini dilakukan terkait kasus pengalihan hak atas piutang (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Namun, ada kesalahan subyek dalam tindakan penggeledahan dan penyitaan. Penyelidikan perkara ini tidak secara profesional memisahkan antara Victoria Securities International Corp, yang merupakan badan hukum asing, dengan PT Victoria Sekuritas (PT. Victoria Investama, Tbk) atau juga dengan PT Victoria Sekuritas Indonesia, yang merupakan badan hukum Indonesia.

Terlebih upaya penggeledahan dan penyitaan dilakukan secara kasar dan bahkan tanpa menunjukan surat-surat tugas dan perintah, mengusir pegawai dan penasihat hukum yang melihat dan mengawasi penggeledahan.

Menanggapi hal itu, Pengamat Ekopol AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia) Kusfiardi mengatakan, jika benar penindakan yang dilakukan Kejagung telah terjadi kesalahan subyek, ini merupakan preseden buruk dalam kerja lembaga penegak hukum.

“Namun baiknya ditunggu saja proses hukumnya yg sdg dijalankan oleh Kejagung,” kata Kusfiardi saat dihubungi Aktual di Jakarta, Senin (17/8).

Menurutnya, apabila memang telah terjadi kesalahan subyek, pihak Kejagung harusnya melakukan pemulihan. Selain menghentikan proses hukum, juga melakukan klarifikasi agar tak dinilai inkompeten sebagai lembaga penegak hukum.

“Tapi bisa juga disisi lain ada upaya dari Victoria Indonesia melakukan upaya mengatasi masalah hukum dengan cara membangun opini. Situasi ini nampaknya menunjukkan betapa kerja penegakan hukum menghadapi banyak kendala. Harusnya ini jadi perhatian dan prioritas untuk diselesaikan,” ungkapnya.

Ia menegaskan, faktor kepastian hukum menjadi sangat penting bukan hanya untuk dunia usaha dan investor. Konsumen dan masyarakat juga membutuhkan kepastian hukum. Seluruh lembaga penegak hukum dan instansi yang memiliki kewenangan hukum harus menjadikan ini momentum untuk melakukan koreksi agar kewibawaan hukum bisa tegak.

“Tegaknya kewibawaan hukum akan memberikan kepastian hukum dan mendorong situasi yang kondusif termasuk untuk kegiatan ekonomi,” tegas dia.

Perkara ini bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adistra Utama meminjam Rp 469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990.

Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.

Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang PT AU. PT Victoria Sekuritas Indonesia membeli aset itu dengan harga Rp 26 miliar.

Seiring waktu, PT AU ingin menebus aset tersebut dengan nilai Rp 26 miliar. Tapi, PT VSI menyodorkan nilai Rp 2,1 triliun atas aset itu.

Tahun 2012, PT AU kemudian melaporkan PT VSI ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset itu. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid