Jakarta, Aktual.com — Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Doktor Chairul Huda, SH, MH, mengatakan bahwa kasus pemufakatan jahat memiliki pengertian dan unsur-unsur sesuai dalam pasal 15 Jo pasal 12 huruf e UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor).
Dia menjelaskan, dugaan pemufakatan jahat yang tengah di usut Kejaksaan Agung yang melibatkan Mantan Ketua DPR Setya Novanto, Presdir PT Freeport Maroef Syamsudin dan pengusaha Riza Chalid, merupakan salah satu bentuk perluasan ketentuan tindak pidana seperti penyertaan, pembantuan atau pun percobaan.
“Dalam hal ini telah ada pemufakatan jahat apabila dua orang tahu lebih telah bersepakat akan melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 KUHP,” demikian kata Chairul Huda, kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (8/1).
Dengan demikian, lanjut dia, pemufakatan jahat bukan tindak pidana yang berdiri sendiri. Melainkan bagian dari persiapan melakukan penyertaan yaitu membuat kesepakatan di antara beberapa orang untuk melakukan tindak pidana tertentu.
“Selain itu, tidak semua pemufakatan merupakan tindak pidana, tetapi hanya kesepakatan akan melakukan tindak pidana tertentu,” jelas ia menambahkan.
Lebih jauh, dia menegaskan, suatu tindak pidana pemufakatan jahat juga baru dapat dipidana jika telah ada kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan kejahatan tersebut dengan kesengajaan (opzettelijke).
“Artinya pihak-pihak yang melakukan kesepakatan itu harus menyadari dan menghendaki hal tersebut,” tegasnya.
Anggota tim perancang Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP ini juga menjabarkan soal penerapan pemufakatan jahat atas perbuatan tindak pidana terhadap Setya Novanto terkait rekaman pembicaraan dengan Maroef Syamsudin dan Riza Chalid pada 8 Juni 2015 lalu.
Chairul Huda berpendapat, bahwa mengacu pada dokumen-dokumen dan pendapat hukum (legal opinion), tidak dapat diterapkan tindak pidana pemufakatan jahat atas pertemuan ketiga pihak tersebut.
Alasan ia, dalam pasal 15 Jo pasal 12 huruf e UU Tipikor hanya dapat diterapkan dalam hal terjadi kesepakatan antara dua orang atau lebih yang memiliki kualitas khusus sebagai pegawai negeri.
“Dalam pasal 1 angka 2 UU Tipikor dan pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 1999 bahwa dalam kejadian pertemuan di Hotel Ritz Carlton hanya satu orang yang mempunyai kualitas sebagai penyelenggara negara yaitu Setya Novanto,” ujarnya.
Sedangkan, lanjut mantan penasehat Kapolri ini, orang yang tidak berkualitas sebagai pegawai negeri dalam pasal tersebut tidak menjadi sasaran norma (adderessaat norm).
“Artinya, Maroef dan Riza Chalid tidak dapat dikalifikasi sebagai subjek tindak pidana. Karena bukan pegawai negeri dan penyelenggara negara. Oleh karenanya kesepakatan dua orang atau lebih dalam pemufkatan jahat tidak akan dapat terpenuhi,” demikian kata Chairul Huda.
Artikel ini ditulis oleh: