cyber crime
Security concept: computer keyboard with word Cyber Crime, selected focus on enter button background, 3d render

Jakarta, Aktual.com —Tren kejahatan di dunia maya atau cyber crime di industri perbankan dalam lima tahun belakangan ini mengalami peningkatan yang luar biasa. Hal ini mengindikasikan rentannya aksi pembobolan keuangan dari ulah para peretas atau hacker.

Untuk itu, selain dari internal perbankan sendiri yang harus memperkuat security IT-nya, juga pihak regulator seperti Bank Indonesia (BI), Otiritas Jasa Keuangan (OJK), atau bahkan pemerintah diminta untuk mengaturnya secara detail.

“Saya melihat saat ini kondisinya sangat mengkhawatirkan. Bahkan tidak hanya bank-bank menengah dan kecil yang rentan anacaman, bank besar juga security-nya cukup mengkawatirkan. Sebab sistem IT perbankan sudah disusupi aktivitas malware,” tegas Manager System Engineering F5 Networks Singapore Pte Ltd, Indonesia, Andre Iswanto, di Jakarta, Selasa (10/5).

Menurut Andre, sudah saatnya perbankan harus mau menginvestasikan dananya yang lebih besar untuk mengantisipasi permasalahan di IT ini. Pasalnya, selain akan menjaga reputasi bank itu sendiri, juga langkah itu bagian dari perlindungan nasabah tersebut.

“Memang security di perbankan makin ke sini makin baik. Tapi ingat, trennya cyber crime di perbankan juga sangat mengkhawatirkan. Karena seiring dengan banyaknya pilihan transaksi cashless, seperti internet banking atau mobile banking, risikonya juga tetap tinggi,” papar dia.

Sejauh ini, lanjut dia, selama tiga tahun ke belakang, dari 2012-2015 total kerugian akibat adanya cyber crime dari industri perbankan mencapai Rp126 miliar atau sekutar US$9,1 juta.

“Kerugian ini justru lebih besar dibanding kerugian yang ditimbulkan sari kejahatan perampokan nasabah bank secara langsung,” tandas Andre.

Cuma sayangnya, tidak semua bank justru menginvestasikan dananya dalam jumlah besar untuk sektor IT-nya. Karena dianggap investasi yang sia-sia. Mereka baru akan berpikir pentingnya IT, ketika perbankan itu mengalami kerugian akibat cyber crime itu.

“Namun yang terpenting lagi adalah peran regulator. OJK dan BI harus punya aturan tegas untuk mendorong sektor perbankan agar mau berinvestasi dalam jumlah besar terkait IT itu,” tandas dia.

Makanya, Andre menegaskan, terutama untuk OJK harus bisa menerbitkan aturan secara khusus yang mengatur soal keamanan untuk menahan ancaman dari cyber crime ini.

“Karena pada akhirnya, ketika bank menawarkan banyak produk ke cashless transaction, maka seharusnya mereka juga punya antisipasi yang kuat terhadap cyber crime. Karena ini terkait perkindungan konsumen,” pungkas dia.

Lebih jauh Andre menegaskan, saat uni kondisi malware yang didesain secara khusus untuk menyerang institusi perbankan dan klien-klien mereka, kini telah berkembang dengan pesat dan canggih.

“Sehingga memang akan semakin sulit untuk dideteksi dan dimitigasi,” tegasnya.

Malware ini, kata dia, merupakan alat yang paling sering dimanfaatkan oleh kriminal di seluruh dunia untuk mendapatkan akses ke sistem dan data-data rahasia.

“Di 2014 saja, ada 27 juta pengguna menjadi target dari 22,8 juts serangan yang memanfaatkan malware finansial,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid