Warga melintas di depan kantor Asuransi Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta, Rabu (11/12/2019). Pemerintah sudah memiliki skenario untuk menangani masalah kekurangan modal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yakni dengan cara pembentukan holding asuransi atau penerbitan obligasi subordinasi atau mandatory convertible bond (MCB) dan pembentukan anak usaha PT Jiwasraya Putra. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

Jakarta, Aktual.com – Dekan FH Universitas Pakuan Bogor sekaligus Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia atau MAHUPIKI Yenti Garnasih menilai, jaksa dalam perkara kasus Jiwasraya seharunya tahu uang pengganti sifatnya tidak memaksa.

Hal itu disampaikan Yenti perihal, Kejaksaan Agung yang mengaku akan memburu harta dua terpidana perkara Asuransi Jiwasraya untuk menutupi uang pengganti yang tak terbayarkan. Tapi, itu berbanding terbalik dengan nasib dua terpidana kasus tersebut yakni Benny Tjokro dan Heru Hidayat yang sudah dipidana seumur hidup.

“Bagaimana kalau terpidana gak punya uang atau tidak bisa membayar, tentu kan diganti dengan pidana penjara. Lha ini kan terpidananya sudah dijatuhi pidana seumur hidup, jadi bagaimana memaksanya?” kata Yenti kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/10).

Bila pun jaksa ingin menyita atau merampas kembali aset terpidana, kata Yenti, sebenarnya bisa dilakukan, yaitu bila kejaksaan sudah sangat pasti tahu bahwa terpidana punya harta yang dimaksud.

“Kalau terhadap tindak pidana korupsi, bisa saja harta terpidana disita dan dirampas untuk mencukupi kerugian negara, namun tetap harus atas perintah hakim,” ungkap dia.

Perampasan aset untuk membayar uang pengganti bagi terpidana seumur hidup, lanjut Yenti, sudah tidak ada gunanya. Pasalnya, para terpidana sudah dihukum seumur hidup dipenjara, sehingga pidana tambahan uang pengganti sudah tidak berlaku lagi. Jadi jika ada pelacakan aset di luar putusan pengadilan adalah tindakan ilegal.

Pernyataan tersebut disampaikan Yenti mengacu pada aturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. “Kecuali para terpidana dihukum semisal 20 tahun, dan hakim dalam putusannya memerintahkan jaksa selaku eksekutor untuk menyita atau merampas aset sebagai pidana tambahan, maka pelacakan aset untuk memenuhi kerugian negara baru bisa dilakukan,” tegasnya.

Mantan ketua panselnas KPK ini juga menilai aksi all out kejaksaan yang ingin memburu harta para terpidana kasus Jiwasraya juga harus berdasarkan putusan hakim. “Artinya harus sesuai putusan atas tuntutan maupun dakwaan yang diajukan dan KUHP. Tidak serta merta tiba-tiba mau cari ini itu aset yang tidak sesuai putusan,” ujarnya.

Maka, kata dia, Jaksa selaku penegak hukum seharusnya profesional sewaktu melakukan penyelidikan maupun pelacakan aset para terpidana di tingkat penyidikan. “Dilacak betul di mana saja harta-harta tersebut, makanya harus profesional dalam proses penyelidikan dan penyidikan di awal,” ujarnya.

Perhitungan Aset Harus Nyata dan Wajar

Sementara, kuasa hukum Benny Tjokrosaputro, Bob Hasan menjelaskan bahwa jaksa seyogyanya dalam melakukan perhitungan aset kliennya harus nyata dan wajar.

“Tentang perhitungan yang diakibatkan dari kerugian negara yang menjadi tanggung jawab Benny Tjokro, harus dilakukan dengan transparan terkait sudah berapa banyak yang disita oleh kejaksaan berdasarkan putusan pengadilan, perhitungan itu harus nyata dan wajar,” kata Benny.

“Maka terlalu dini tindakan penyitaan lanjutan sebelum diperhitungkan jumlah aset yang telah disita sebagaimana hukum acara perhitungan kerugian negara. Intinya perhitungan itu harus ada dasar hukumnya, selagi masih memperhitungkan aset sitaan jangan berpikir lebih atau kurang dahulu,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu