Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan hingga kini belum juga menemukan titik terang untuk mengejar Google dan Facebook agar mau membayar pajak di Indonesia.

Apalagi di beberapa negara seperti Inggris, Facebook malah sudah membayar pajak sebanyak USD4,1 miliar. Bahkan Google juga semula menolak, kini siap membayar pajak di negeri itu.

“Bagi saya, kita bisa mengikuti langkah Inggris, yaitu dengan melakukan negosiasi. Karena untuk Google ini memang platform-nya harus negosiasi,” jelas pengamat pajak, Yustinus Prastowo di Jakarta, Selasa (11/10).

Cuma negosiasi yang dilakukan oleh Inggris itu tak sembarangan. Melainkan berdasarkan data yang akurat, seperti terkait Facebook atau Google. “Jadi ketika di Inggris buat aturan itu, maka inilah pajak yang tidak bisa Anda tolak,” jelasnya.

Dengan begitu, maka Facebook pun mau melakukan negosiasi untuk membayar pajak. Bagi Indonesia, kata dia, jika mau mengambil langkah seperti Inggris, tak hanya mengambil langkah untuk menetapkan jadi Badan Usaha Tetap (BUT).

“Jika itu dilakukan terhadap Google pasti akan mau. Karena Google sendiri memiliki skema tax planing yang sama di seluruh dunia. Dan itu diterapkannya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,” tandas dia

Apalagi memang, dalam konteks perpajakan internasional, negara yang menjadi sumber penghasilan satu perusahaan, maka negara itu berhak untuk memajakinya.

“Berapa besar? Maka itu perlu negosiasi, dan besarnya itu perlu dirundingkan. Kalau gak berunding agak susah. Karena kalau dibawa ke sengketa pajak kita pasti kalah. Dan dengan kondisi UU Pajak yang ada kita akan kalah,” jelas dia.

Namun memang, kata dia, agar Google mau menuruti, maka caranya pemerintah sendiri harus punya data yang akurat terkait kinerja Google di Indonesia selama ini.

“Berapa revenue Google di Indonesia? Kalau punya itu, gak ada alasan Google menolak bayar pajak di Indonesia,” ucap Prastowo.

Karena, lanjut dia, meski aturannya belum ada, tapi secara normatif Google sudah menikmati pendapatan di Indonesia.

“Sehingga secara normatif negara sumber (penghasilan bagi perusahaan itu), tetap berhak memajaki (perusahaan itu),” tandas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan