Jakarta, Aktual.com – Ekonom Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Berly Martawardaya, mengakui kelesuan ekonomi di tanah air memang mengkhawatirkan. Menurutnya, hal ini sangat tampak dalam tingkat konsumsi atau daya beli masyarakat sejak awal tahun ini.

Lesunya tingkat daya beli masyarakat pun telah merambah dan berdampak pada beberapa sektor industri, di antaranya ritel dan properti. Menurutnya, hal ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan dan pengeluaran masyarakat.

“Ada istilah permanent income hypothesis kalau di ekonomi. Kita lihat income kita naik apa enggak, kalau income kita naik, katakanlah seperti dapat bonus, ya sudah kita pakai buat belanja dan jalan-jalan,” jelasnya kepada Aktual usai diskusi bertajuk ‘Peran dan Inovasi Paten Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia’ di Jakarta, Rabu (27/9).

Menurutnya, meskipun pendapatan masyarakat tidak banyak berubah, namun ia beranggapan jika masyarakat sedang mengalami masa penghematan karena beberapa kebijakan pemerintah terkait pajak.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2016 sendiri mencapai Rp12.406,8 triliun atau jika dirata-rata, setiap orang Indonesia memiliki penghasilan yang mendekati Rp47,96 juta per tahun. Angka ini meningkat jika dibandingkan PDB per kapita pada 2015 yang mencapai Rp45,14 juta per tahun.

Berly pun mencontohkan dicabutnya subsidi listrik 900 Watt dan kenaikan tarif Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang diberlakukan pada awal tahun ini. Sejak akhir tahun lalu, pemerintah memang tampak sedang rajin menyedot dana dari masyarakat melalui pajak, salah satu yang menarik perhatian adalah tax amnesty.

Kecenderungan pemerintah yang menyedot dana dari masyarakat diduga terjadi lantaran pemerintah telah kelimpungan untuk membayar utang yang jatuh tempo pada 2018 dan 2019. Menurut DJPPR Kemenkeu, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp390 triliun dan semakin membesar pada 2019, yaitu Rp420 triliun.

“Kalau pajak meningkat berarti tahun depan bayar pajak lebih banyak. Berarti tahun ini perlu kurangi konsumsi, jadi masyarakat (lebih memilih) menabung buat bayar pajak tahun depan,” ucap Berly.

“Ini lagi fase menghemat lah,” sambung dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.

Keadaan ini pun disebut Berly memiliki implikasi langsung terhadap beberapa sektor, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu ritel dan properti. Berdasar data dari BPS, ia menyebut jika daya beli masyarakat terhadap kebutuhan sandang, seperti baju dan sepatu, cenderung rendah, yaitu hanya sekitar 3% saja.

“Jadi kalau beli baju dan sepatu ditunda, apalagi beli rumah?,” selorohnya seraya menutup.

Teuku Wildan A.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Arbie Marwan