Jakarta, Aktual.com — Kejaksaan Negeri Makassar langsung melakukan penahanan terhadap tersangka pengemplang pajak ke sel tahanan, karena diduga melanggar undang-undang perpajakan dengan kerugian Rp1,1 miliar.
“Berdasarkan undang-undang perpajakan, seorang Penyidik PNS tidak mempunyai kewenangan menahan tersangkanya. Tetapi, penuntut umum punya kewenangan menahannya,” ujar Kepala Kejari Makassar Deddy Suwardy Surachman di Makassar, Kamis (25/6).
Deddy mengatakan, setelah berkas tersangka beserta barang buktinya diterima oleh penyidik Kejari Makassar, tim jaksa kemudian menjebloskannya ke Rumah Tahanan Klas I Makassar untuk kepentingan penuntutan.
Alasan penahanan tersangka berdasarkan alasan subjektif dan objektif. Di antaranya, ditakutkan tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, serta ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara.
Pertimbangan lainnya, menurut Deddy, karena kerugian negara senilai Rp 1,1 miliar dalam kasus ini belum dikembalikan oleh tersangka. Pihak Kejari pun berupaya untuk segera merampungkan berkas dakwaan dan menyerahkan ke pengadilan.
“Untuk tahap awal penahanan selama 20 hari dan ini bisa ditambah lagi jika memang diperlukan,” kata dia.
Kepala Kanwil DJP Sultanbatara Arfan mengatakan, tersangka Haeruddin selaku suplier alat mekanikal elektrikal tidak menyetorkan biaya pajak pertambahan nilai sejak 2008 dan 2009 sebesar Rp 1,1 miliar.
Padahal dalam penelusuran penyidik di periode itu ditemukan transaksi jual beli yang dilakukan perusahaan Haeruddin. Pihak Kanwil Pajak juga sudah meminta tersangka agar menyelesaikan kewajibannya itu.
“Kami sudah meminta untuk diselesaikan tapi tak digubris. Akhirnya kita tempuh jalur seperti ini,” ujar Arfan.
Tersangka juga memalsukan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan dan PPN masa Januari 2008 sampai Desember 2009. Dalam laporan itu tersangka menyebut tidak ada pendapatan atau nihil.
Arfan menuturkan, selama proses penyelidikan, tersangka dua kali mangkir dari panggilan penyidik. Keberadaannya baru diketahui setelah ditelusuri oleh tim Intelijen Polda Sulawesi Selatan dan Barat.
“Kami lakukan penjemputan paksa,” kata dia.
Haeruddin disangkakan melanggar pasal 39 ayat 1 huruf d dan i Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan Umum Nomor 28 tahun 2007 dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun.
Tersangka Haeruddin saat dikonfirmasi membenarkan tidak pernah menyetorkan dana pajak tersebut. Dia berdalih saat itu uang hasil penjualan digunakan untuk modal usaha dan membayar gaji dan administrasi kantor.
“Keuntungannya tidak seperti di atas kertas,” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu