Dari kiri ke kanan, Moderator Frisca Clarisa, Tokoh Muda NU Zuhairi Misrawi, Direktur Voxpol Center Pangi Syarwi  Chaniago, Wasekjen DPP PPP Achmad Baidowi, Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing dan Direktur LSIN Yasin Mohammad saat menjadi pembicara dalam Diskusi Dialektika di Kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (11/2/18). Diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei Independen Nusantara ini mengambil tema " Berebut Cawapres Jokowi : Peluang Koalisi Nasionalis-Santri". AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Koalisi Gerindra-Demokrat-PKS dan PAN harus piawai dan mahir dalam mendaur ulang capres dan cawapres sehingga bisa menyiapkan lawan tanding yang sebanding melawan Jokowi.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago karena kapasitas, popularitas, akseptabilitas terhadap kandidat menjadi maha penting, sense of politics, membaca trend, apa yang sedang disukai masyarakat, apa yang betul-betul diinginkan dan menjadi kebutuhan rakyat.

“Kemampuan membaca sentimen publik dengan menerjemahkannya ke dalam keputusan politik strategis yang populis, berimplikasi nyata terhadap dukungan yang luas dari masyarakat,” kata Pangi kepada para wartawan di Jakarta, Minggu (5/8).

Dia menilai mempertimbangkan posisi capres-cawapres tidak bisa dilakukan melaui pertimbangan dan kebijakan yang bersifat elitis, pragmatis dan transaksional dan terkesan hanya memaksakan kehendak elit dan ego sektoral masing-masing partai koalisi.

Menurut Pangi, kehendak dan logika publik sebagai pemilih dan pemegang kedaulatan mesti harus menjadi pertimbangan (determinan) utama jika ingin mendapat simpati dan dukungan real suara akar rumput.

Dia menilai selain posisi capres, posisi cawapres pun menjadi sangat krusial dalam menentukan peta politik saat ini, bahkan posisi cawapres justru lebih banyak diperbincangkan dan menjadi poin penentu kemenangan.

“Oleh karena itu, Cawapres harus memiliki kapasitas personal yang mumpuni, penerimaan publik yang luas, dukungan partai (elit), track record yang positif, susah dicari celah kesalahan dan dosa masa lalunya, sehingga sulit bagi lawan politik melakukan down-grade dan tentu saja popularitas dan elektabilitas yang memadai,” katanya.

Selain itu Pangi menilai sejauh ini poros koalisi di Pilpres 2019 masih seperti lima tahun lalu yaitu poros Jokowi dan Prabowo namun sesuatu hal yang luar biasa terjadi karena dalam politik adalah seni ketidak-mungkinan, yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin, yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.

Menurut dia kemungkinan adanya poros lain di luar Prabowo-Jokowi karena pertama, apabila diloloskannya uji materi terkait ambang batas parpol mengusung pasangan capres-cawapres JR terkait presiden Treshold 0 persen.

“Kedua, diloloskannya JR terkait masa jabatan Wapres, situasi ini tentu akan sangat menguntungkan kubu Jokowi dan membuka kesempatan untuk memenangkan kompetisi yang semakin besar sehingga dibutuhkan lawan tanding yang sepadan dari poros Gerindra sehingga nama-nama yang selama ini muncul sebagai cawapres bisa saja berubah total,” ujarnya.

Jika situasi ini terjadi maka dapat dipastikan peta politik akan berubah drastis dan semua partai akan punya kesempatan yang sama untuk mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri dan atau akan terjadi rekomposisi koalisi bahkan akan terbentuk koalisi yang sama sekali baru.

Ketiga menurut dia, kebuntuan koalisi di kedua poros, resistensi dan tingkat penerimaan yang rendah atas keputusan Jokowi ataupun prabowo terhadap pilihan Cawapres akan membuat perpecahan di dua poros ini.

Pangi menilai situasi ini membuka peluang dan poros ketiga bisa hidup dan tumbuh kembali karena bisa saja tiga poros atau tetap dua poros, namun dengan komposisi yang berbeda yang sepertinya beberapa partai sedang mempersiapkan diri untuk memilih opsi ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta