Terwujudnya poros koalisi ketiga di luar kubu pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo yakni Partai besutan SBY. Sebab, ada berbagai potensi persoalan yang bisa mengganggu jalannya koalisi poros ketiga.
“Kalau Demokrat, PAN dan PKB enggak egois dipastikan poros ketiga bakal jadi dengan mengusung capres dan cawapres alternatif,” kata Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago ketika berbincang dengan Aktual.
Poros ketiga akan terbentuk, kata dia, bila memang Demokrat “ngotot” dan masyarakat cenderung menginginkan presiden baru atau alternatif. Apalagi, saat ini Parpol-parpol sibuk mencari pola agar kadernya menjadi cawapres.
“Demokrat akan mampu membentuk poros ketiga jika Demokrat enggak egois. Dengan membuka peluang menjagonkan tokoh eksternal sebagai capres poros ketiga. Dengan catatan dapat “restu” mbak Mega. Jika poros ketiga gagal terbentuk maka pilihan rasional adalah bergabung dengan Jokowi/PDI,” katanya.
Bisa saja calon yang ditonjolkan di Pilpres 2019 yakni Gatot Nurmantyo-Tuan Guru Bajang, Gatot Nurmantyo-Agus Harimurti Yudhoyono atau Sultan-AHY. Akan tetapi, kata dia, hal itu hanya terjadi jika ada keajaiban.
“Atau PD mengalah ke kedua kubu yang ada dengan deal politik memberi panggung untuk AHY jika kubu yang didukung memenangkan pertarungan,” katanya.
Dengan memberi jabatan untuk AHY di pemerintahan, kata dia, ibarat memberi “pembelajaran” politik sekaligus menguji kapasistas AHY. Karena, bila tidak seperti itu, Demokrat di 2019 akan sulit mengambil posisi netral seperti 2014, karena akan sangat merugikan bagi elektabilitas partai. “Jika posisi netral diambil PD itu adalah kebodohan,” kataya.
Jika membahas Demokrat, sosok yang menjadi sorotan adalah AHY. Jika diasumsikan, AHY dijadikan sebagai calon presiden di poros ketiga, maka hal itu akan memunculkan pertanyaan apakah Muhaimin Iskandar dari PKB dan Zulkifli Hasan dari PAN bersedia menerima kesepakatan tersebut.
“Kalau bicara partai poros ketiga hemat saya harus lihat Partai Demokrat. Karena Demokrat adalah partai yang paling besar di antara tiga partai yang ada (PAN, PKB, Demokrat). Jadi, dia menentukan arah koalisi,” ujar Qodari pada diskusi media bertema Peta Politik Indonesia: Kiprah ICMI dalam Tahun Politik 2018, di Jakarta, Rabu (7/3/2018).
“Katakanlah Muhaimin mau, tapi Zulkifli Hasan mau enggak dengan AHY-Muhaimin? Atau misalnya AHY-Zulkifli Hasan, mau enggak Muhaimin mendukung? Agak susah,” ujar dia.
Hal itulah yang membuat pencalonan AHY sebagai capres pada poros ketiga agak rumit. Qodari juga mengasumsikan, apabila dimasukkan variabel nama Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai capres, maka Demokrat akan tetap mengutamakan AHY sebagai pendamping.
“Enggak mungkin dilepas sama SBY, enggak mungkin Pak SBY mendukung Gatot jadi capres terus wakilnya Muhaimin atau Zulkifli Hasan,” kata Qodari.
Qodari menilai hal itu akan menimbulkan potensi penolakan dari PKB dan PAN. “Berarti kalau Gatot-Agus, itu kan militer militer. Ya mau enggak itu Gatot-Agus kemudian didukung Muhamin dan Zulkifli Hasan?” ujarnya.
Resiko lainnya, kata dia, jika hasil survei elektabilitas komposisi calon poros ketiga cenderung kecil. Hal itu akan membuat PKB dan PAN bisa berpaling ke koalisi pendukung Jokowi atau pendukung Prabowo. Qodari pun berkaca kepada koalisi poros ketiga pada Pilpres 2009 lalu.
Koalisi poros ketiga pada Pilpres 2009 cenderung lebih sederhana, dikarenakan komposisi koalisi pada waktu itu hanya terdiri dari dua partai, yakni Golkar dan Hanura. “Pak JK Ketua Golkar, Pak Wiranto Ketua Hanura dan dua partai ini bergabung sudah memenuhi persyaratannya (mengusung capres-cawapres),” lanjut dia.
Hal itulah yang tidak ia lihat pada Pilpres 2019 nanti. Sebab, tidak ada faktor kesederhanaan komposisi parpol dan pimpinan parpol. “Jadi mempertemukan tiga partai dengan tiga pimpinan dengan aspirasi yang berbeda ini yang membuat kesulitan,” ujarnya.
Selain itu, koalisi poros ketiga akan sulit terwujud pada 2019, apabila setiap partai memiliki ambisi yang kuat dan kalkulasi politik yang rumit.
Koalisi Pendukung Jokowi Tak Solid
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang