Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

Jakarta, Aktual.com – Pembelian tanah RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinis DKI Jakarta dilakukan dengan mekanisme pengadaan. Hal itu terlihat dari adanya pembentukan berbagai macam Tim, dari kajian hinggan panita pengadaan.

Pakar hukum pidana Choirul Huda berpendapat, mekanisme pengadaan inilah yang kemudian ditelusuri oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sehingga, menurutnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keliru jika menyebut pembelian itu tidak harus menggunakan metode perencanaan.

“Investigasi BPK kan menggunakan pola berdasarkan dokumen yang ada yaitu pembelian dengan mekanisme pengadaan tanah yang biasa, bukan pembelian langsung. Jadi disitu tergambar ada kerugian negara,” papar dia, lewat pesan elektronik kepada Aktual.com, Kamis (16/6).

Kata dia, sudah jelas terlihat upaya Pemprov DKI untuk mengaburkan fakta tersebut. Terlebih Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sesumbar kalau angka yang dibayarkan ke RS Sumber Waras murah.

“Dulu ketika harga NJOP lebih rendah dari yang mau dibeli perusahaan swasta, Pemda DKI mau beli dengan harga yang diajukan swasta. Belakangan, begitu NJOP lebih tinggi dari penawaran swasta, justru yang digunakan harga NJOP. Pemda DKI selalu mencari harga yang tertinggi bukan yang terendah,” jelasnya.

Hal tersebut juga yang membuat pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta ini keheranan. Dia pun sedikit menyinggung gelagat Ahok yang selalu meyebut kalau pengadaan ini pakai mekanisme pembelian langsung, sesuai Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014.

“Makanya ketika dibilang orang sekampung kemahalan, dibilang ini negosiasi langsung, bukan dengan mekanisme pengadaan,” pungkasnya.

Salah satu acuan KPK dalam menangani kasus RS Sumber Waras adalah Perpres Nomor 40 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terkhusus pada Pasal 121.

Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo aturan ini tidak dipakai oleh BPK. Disampaikan mantan Kepala LKPP itu, aturan ini berbeda dengan yang dipakai BPK yakni Perpres Nomor 71 Tahun 2012.

“Poin pokok perbedaan penggunaan aturan, dengan Perpres Nomor 40 Tahun 2014. Itu banyak hal pada laporan BPK jadi gugur, karena (dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2014) tidak digunakan perencanaan,” papar Agus, di gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (15/6).

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby