Presiden Joko Widodo - Aksi Bela Islam II. (ilustrasi/aktual.com)
Presiden Joko Widodo - Aksi Bela Islam II. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pernyataan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pulau Seribu 27 September 2016 lalu, kemungkinan pada awalnya dianggap sebagai hal yang lumrah oleh Ahok sendiri. Mantan Bupati Belitung Timur itu merasa pernyataannya tidak akan berdampak sebesar sekarang ini.

Bisa jadi pula, Presiden Joko Widodo juga merasa hal yang sama. Ahok merasa sebagai pihak yang paling kuat sehingga munculnya protes demi protes pada awalnya hanya diangga sebagai riak-riak kecil dari kalangan organisasi masyarakat Islam yang selama ini dicap sebagai kelompok radikal.

“Patut diduga Presiden Jokowi pun terlihat berpikir dan merasa hal yang sama dengan Ahok. Presiden sama sekali tidak menduga bahwa yang dilakukan Ahok tersebut kemudian akan menyasar pada jabatan Presiden sebagai taruhan situasi ini,” terang tokoh Rumah Amanah Rakyat, Ferdinand Hutahean, dalam keterangannya kepada Aktual.com, Jumat (11/11).

Sikap merasa paling kuat ini, menurutnya menjadi bumerang. Sikap tersebut merupakan awal kekeliruan dari banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Selama ini, langkah yang diambil Presiden tidak satupun yang menyentuh akar masalah dan tidak satupun yang menjadi solusi.

Bahkan, lanjut Ferdinand, terlalu banyak pernyataan yang keliru dari Presiden yang membuat situasi secara umum menjadi semakin tidak menentu. Presiden pernah menyatakan bahwa negara tidak boleh kalah kepada kepada ormas apapun, bahkan ada media menuliskan dengan judul ‘Jokowi : Negara Harus Kuat, Tidak Boleh Polri Kalah Kepada Kelompok Perusak’.

Kalimat yang menurutnya sangat provokatif. Presiden benar bahwa Negara tidak boleh kalah dari apapun dan dari siapapun. Tapi Presiden sepertinya lupa bahwa Negara dengan Pemerintah adalah dua hal yang berbeda.

“Pemerintah boleh kalah dan harus kalah kepada kebenaran hukum, kepada suara mayoritas karena pemerintah ada berasal dari rakyat dan rakyat adalah komponen pembentuk negara. Rakyat adalah negara,” jelas Ferdinand.

Kekeliruan Presiden dalam hal ini adalah menempatkan pemerintah sebagai negara, dan rakyat seolah jadi perusak. Kekeliruan demi kekeliruan ini terus bergulir deras dari istana. Kekeliruan paling fatal dari Presiden adalah Presiden terlambat bersikap dan meski sudah terlambat tapi salah memilih sikap. Presiden tidak memilih kebenaran materil hukum dan memilih kebenaran politis yang berbasis persepsi sepihak.

Ditambahkan, ulama sudah jelas menyatakan sikap atas penistaan agama yang dilakukan Ahok. Seharusnya Presiden dan Polri bersikap mengikuti pendapat ulama karena hanya ulamalah yang menjadi tempat bertanya mengenai agama dan tafsirnya. Bukan kepada para politisi dan bukan kepada para buzzer bayaran di media sosial.

Pusaran kekeliruan kini semakin menjadi-jadi dan semakin besar meliputi Presiden. Tidak menemui aksi umat pada 411 adalah kekeliruan yang tidak seharusnya dilakukan presiden. Begitu juga safari politik dukungan kepada Ahok terus berlangsung dengan mengunjungi ormas-ormas Islam serta mengundang beberapa ulama dan tokoh ke Istana.

Presiden harus bersusah payah dan berkeringat melakukan upaya meredam aksi umat Islam yang membela aqidah yang diyakininya. Sebuah pekerjaan sia-sia yang disebut Ferdinand tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebab solusinya sangat mudah, memproses Ahok sesuai KUHP Pasal 156a dan menahan Ahok sebagai tersangka.

“Karena ini pidana berat maka hak subjektif penyidik harus dikesampingkan demi stabilitas dan kondusifitas negara. Maka publik kembali akan tenang dan pulang ke rumah mengawasi proses hukum berjalan,” urainya.

Mengenai safari show of force atau unjuk kekuatan Presiden ditengah rencana Aksi Bela Islam III 25 Nopember dengan mengunjungi markas satuan-satuan tempur khusus seperti Kopassus dengan Gultornya, Marinir dan Korps Brimob, Presiden juga sebagai sebuah kekeliruan.

Padahal Kopassus dibuat untuk menghadapi ancaman pertahanan negara dan penanggulangan teror, bukan untuk menakut-nakuti demonstran. Menjadi pertanyaan besar Presiden ke markas prajurit TNI ditengah eskalasi politik, sementara HUT TNI 5 Oktober lalu sangat hambar dan tidak dirayakan secara tepat oleh rejim Jokowi.

Ferdinand berharap ke depan Presiden tidak lagi meneruskan kekeliruan. Sebab dampaknya akan sangat negatif bagi pemerintahan.

“Matinya kepercayaan publik pada Presiden adalah harga sangat mahal atas kekeliruan yang dilakukan Presiden,” demikian Ferdinand.

Soemitro

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan