Jakarta, Aktual.com – Dekan dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara yang juga pakar penerbangan Prof Dr. Ahmad Sudiro mengatakan bahwa keluarga korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 perlu didampingi pengacara yang berpengalaman dalam menangani kasus penerbangan.

Sudiro dalam pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Ahad (24/1), mengatakan bahwa dalam peristiwa kecelakaan itu terdapat hak-hak ahli waris korban yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh para pihak yg dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan tersebut.

Menurut dia, ganti kerugian atau kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut terhadap ahli waris korban kecelakaan pesawat sesuai dengan Pasal 141 Undang Undang Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, dan Pasal 2 jo Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, serta ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

“Namun, ganti kerugian atau kompensasi dari pengangkut ini tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak- pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab juga untuk tetap dituntut ganti kerugian atas terjadinya kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182 jenis Boeing 737- 500 tersebut,” katanya.

Sudiro menambahkan bahwa sudah ada aturan dari Menteri Perhubungan terkait kompensasi yang harus diberikan keluarga penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan.

“Permenhub Nomor 77/2011 Bab VI Pasal 23 berbunyi besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui abritrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.

Dari kasus kecelakaan serupa, yakni pesawat Lion Air JT-160 jenis Boeing 737-8 MAX yang jatuh di perairan laut Jawa sekitar Kerawang setelah lepas landas dari bandara Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang dan mengakibatkan 189 orang meninggal dunia, 29 Oktober 2018, bisa diambil pembelajaran.

Sudiro menyebutkan setidaknya ada empat persoalan yang harus dihadapi keluarga atau ahli waris penumpang pesawat Lion Air JT 610 ketika itu.

Pertama, keluarga tanpa pendampingan ahli hukum atau pengacara secara sepihak diarahkan oleh pihak maskapai untuk memberikan pelepasan dan pembebasan dari sanksi perdata maupun pidana kepada pihak maskapai dan pabrikan pesawat untuk menerima santunan sebesar Rp1.250.000.000, ditambah Rp50.000.000 ekstra santunan dari maskapai dan pabrikan pesawat terbang.

Kedua, para keluarga yang oleh karena terdesak kebutuhan maka menerima dana santunan Rp1.300.000.000.

Ketiga, dengan menerima dan menandatangani R&D (Release and Discharge) atau terjemahan bebasnya adalah “Pelepasan dan Pembebasan”, pihak keluarga dan ahli waris tidak bisa menuntut baik pidana maupun perdata kepada maskapai penerbangan dan pabrikan pesawat beserta sekitar 1.000 supplier dan subkontraktor dari pabrikan pesawat di Amerika Serikat.

Keempat, banyak keluarga yang terlanjur menandatangani R&D mengalami kesedihan kedua kalinya karena tidak bisa mendapatkan santunan dari pihak pabrikan pesawat di Amerika Serikat menurut Undang-Undang Amerika Serikat.

“Fakta hukum para keluarga korban yang tidak menandatangani R&D dapat dengan mudah mengajukan tuntutan kepada perusahaan pabrikan pesawat di Amerika Serikat. Dalam pengajuan klaim di AS berdasarkan perundang-undangan hukum yang berlaku disana, keluarga bisa mendapatkan santunan dalam jumlah yang sangat layak. Tentu harus diwakili oleh pengacara yang berasal dari AS,” jelasnya.

Namun, lanjut dia, keluarga korban yang terlanjur menandatangani R&D pun bisa menuntut ke pabrikan pesawat di AS, tetapi mendapatkan santunan yang besarnya hanya sekitar 30 persen dibanding mereka yang menolak menandatangani R&D.

Hal itu, kata dia, perlu menjadi pertimbangan bagi para keluarga korban secara logis di tengah kedukaan yang sangat dalam yang dialami saat ini.

“Karena itu, memilih pengacara yang memiliki pengalaman dalam menangani kasus penerbangan seperti ini akan sangat membantu perlindungan hak perdata bagi keluarga dan ahli waris korban secara aman baik untuk kepentingan hukum di Indonesia maupun di AS,” katanya.

Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak jatuh di dekat Pulau Laki, Kepulauan Seribu, Sabtu, 9 Januari 2021, mengakibatkan korban jiwa 50 penumpang dan 12 awak kabin pesawat.

Kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182 itu menjadi bencana penerbangan terbesar di tanah air sejak kecelakaan pesawat Lion Air JT-160 jenis Boeing 737-8 MAX rute Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh di perairan laut Jawa sekitar Karawang yang mengakibatkan 189 orang meninggal dunia pada 29 Oktober 2018. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin