Jakarta, Aktual.com – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan dr. Cut Putri Arianie mengatakan, pihak keluarga perlu mengantisipasi dampak psikologis cukup berat karena harus menyaksikan anaknya atau anggota keluarga mereka menjalani transfusi darah sepanjang usia akibat penyakit thalassemia.
“Keluarga ini tidak semua dari keluarga beruntung, lalu belum semua fasilitas pelayanan kesehatan dekat dengan tempat tinggal mampu melayani sehingga keluarga menempuh perjalanan cukup jauh, ongkos, kehilangan hari produktif untuk mendampingi pengobatan,” demikian kata Arianie dalam sebuah webinar kesehatan, dikutip Minggu.
Dalam kesempatan itu, dokter dari Universitas Sebelas Maret, Solo, sekaligus motivational coach, Rum Martani menyarankan keluarga penyandang thalassemia menahan diri atau berhenti menyalahkan diri sendiri atau orang lain lalu menenangkan diri saat anak terdiagnosis thalassemia.
“Ketika ada diagnosis (thalassemia) untuk buah hati, ini sesuatu yang sangat berat. Seakan-akan sebuah ancaman, akibatnya ada perasaan melawan, menghindari sehingga bisa saling menyalahkan ada perasaan bersalah. Ketika ada, kita bisa menarik diri yakni berhenti dulu untuk tenang,” ujar dia.
Dalam kondisi tenang, cobalah untuk perlahan mengubah pola pikir. Anda perlu menilai ulang atau reframming, kemudian melihat apa hikmah di balik kejadian yang Anda alami ini.
Anda bisa berpikir kondisi ini bukan musibah, bukan sesuatu yang Anda minta. Ketika Anda bisa melakukannya, cobalah menerima iklhas. Memang, ini tak mudah dan kerap disertai up and down, ungkap Martani.
Thalassemia merupakan penyakit kelainan sel darah merah yang membuat penyandangnya mengalami anemia. Kondisi ini bisa menyebabkan komplikasi seperti gagal jantung, terhambatnya tumbuh kembang, gangguan hati hingga kematian.
Menerima buah hati terkena Thalassemia bagi sebagian orang tua tidaklah mudah. Penyakit yang diturunkan dari ayah atau ibu ini membutuhkan pengobatan seumur hidup berupa transfusi darah dan pemberian kelasi besi, khususnya bagi yang masuk kategori mayor (berat).
“Jenuh, bosan (wajar), seakan tidak ada ujungnya. Perlu kembali lagi ubah pola pikir (pengobatan) ini bukan karena beban melainkan karena ini diperlukan agar bisa hidup lebih sehat, usia harapan hidup bisa lebih tinggi,” ujar Martani.
(Diva Ladieta)
Artikel ini ditulis oleh:
Nusantara Network