Bandung, Aktual.com – Bank Indonesia (BI) kembali menegaskan bahwa kondisi gejolak perekonomian Indonesia saat ini tidak bisa disamakan dengan kondisi krisis moneter yang terjadi pada 1998 silam.
“Walaupun levelnya sama tapi itu different story antara 1998 dan saat ini,” kata Kepala Divisi Operasi Valas, Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Rahmatullah Sjamsudin dalam diskusi di The Trans Luxury Hotel, Bandung, Sabtu (5/9).
Meski saat ini nilai tukar Rupiah terdepresiasi cukup dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yakni menembus level Rp14.000 per USD, namun dirinya menyebutkan bahwa ada beberapa perbedaan indikator antara krisis 1998 dan gejolak perekonomian 2015.
Ia menjelaskan, pada 1998, transaksi berjalan Indonesia mencapai angka 3,8 persen terhadap PDB, sehingga memang tidak mengalami defisit. Sementara pada 2015 diprediksi akan terjadi defisit transaksi berjalan sebesar 2,16 persen.
“Akan tetapi, cadangan devisa (cadev) pada 2015 hingga Juli sudah mencapai USD107,55. Jauh lebih besar dibandingkan pada 1998 yang sebesar USD23,76,” ujar dia.
Selain itu, sambungnya, external debt pada 1998 mencapai 126,69 persen. Jauh lebih tinggi dibanding tahun ini yang hingga pada kuartal II baru menyentuh 34,42 persen. Pelemahan kurs Rupiah jauh lebih dalam pada 1998 sebesar 48 persen di level Rp8.050 per USD. Sangat berbeda pada tahun ini yang mencapai 13,4 persen di level Rp14.000 per USD.
Sementara untuk indikator perbankan, capital adequacy ratio (CAR) pada 1998 minus 15,7 persen. Pada Juni 2015 sebesar 20,1 persen. Kemudian Non Performing Loan (NPL) pada 1998 mencapai 48,6 persen, jauh lebih tinggi dibanding Juni 2015 yang sebesar 2,56 persen. Untuk suku bunga deposito satu bulan pada 1998 sebesar 41,42 persen. Sementara pada Juni 2015 menyentuh 7,76 persen.
Artikel ini ditulis oleh: