Jakarta, Aktual.com – Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sumarsono mengungkapkan 3.143 peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang dibatalkan pemerintah tercatat sekitar 67,5 persen terkait dengan investasi, 15 persen bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan sisanya bersifat diskriminatif.

“Khusus (Perda) diskriminatif, kita sangat berhati-hati karena sensitif sekali,” terangnya, Rabu (15/6).

Perda diskriminatif dalam proses pencabutannya dilakukan melalui konsultasi pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Hal itu berbeda dengan Perda yang terkait dengan investasi, prosesnya lebih mudah. Seperti terjadi di Purwakarta, Aceh dan Serang, dimana ada aturan mengenai jam keluar malam dan penanganan PEKAT.

Kemendagri disampaikan Sumarsono saat ini masih melakukan penyisiran lanjutan terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah bermasalah. Kemendagri tidak berhenti pada 3000-an Perda yang telah dibatalkan.

Selama ini, keberadaan Perda dan Peraturan Kepala Daerah ini tidak sepenuhnya terdata di Kemendagri. Data yang ada baru mencakup Perda Tingkat Propinsi, sementara tingkat Kabupaten/Kota yang jumlahnya mencapai 30ribuan tidak terdata atau tidak dilaporkan.

“Kita (akan) berlakukan sistem register, semua perda harus punya nomor register. Dengan dibangun sistem e-Perda, puluhan Perda di Indonesia harus terdaftar di Kemendagri,” jelas Sumarsono.

Tertib administrasi ini sebagai bentuk kontrol terhadap aturan daerah yang sebelumnya dilakukan secara parsial. Nyatanya dalam pelaksanaan evaluasi, tercatat dari 10 Perda ada 1 Perda yang bermasalah.

Ia mengungkapkan Perda yang dibatalkan diantaranya dari Propinsi Jawa Timur yang menempati posisi tertinggi dengan 102 Perda. Kemudian Propinsi Sulawesi Utara 47 Perda, Propinsi Sulawesi Utara 17 Perda.

“Jawa Timur paling banyak, paling kreatif,” jelasnya.

 

Laporan: Sumitro

Artikel ini ditulis oleh: