Ilustrasi - Pelayanan BPJS Kesehatan. ANTARA/HO-Kemenkes
Ilustrasi - Pelayanan BPJS Kesehatan. ANTARA/HO-Kemenkes

Jakarta, AKTUAL.COM– Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, Mohammad Syahril, menegaskan bahwa pencabutan kebijakan mandatory spending tidak berhubungan dengan skema pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

“Kalau mandatory spending itu terkait dengan belanja wajib untuk membiayai program kesehatan, seperti pencapaian target stunting, menurunkan kematian ibu dan bayi, mengeliminasi kusta, eliminasi TBC, dan juga penyiapan sarana prasarana,” ungkap Mohammad Syahril di Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Dia menjelaskan bahwa mandatory spending berhubungan dengan anggaran yang harus dialokasikan oleh pemerintah dalam APBN dan APBD untuk keperluan kesehatan.

Dengan penghapusan kebijakan mandatory spending, Syahril menegaskan bahwa ini tidak berarti anggaran untuk tujuan tersebut akan dihilangkan, melainkan akan direncanakan dengan lebih teratur sesuai dengan rencana induk kesehatan yang jelas.

“Anggaran akan lebih efektif dan efisiensi karena berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome yang akan dicapai, karena tujuannya jelas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi-tingginya. Jadi semua tepat sasaran, tidak buang-buang anggaran,” jelasnya.

Terlepas dari itu, terkait pendanaan kesehatan perorangan dalam program jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, Syahril menekankan bahwa hal tersebut tidak terkait dengan kebijakan mandatory spending.

“Dalam UU Kesehatan tidak ada perubahan pengaturan terkait BPJS Kesehatan. Sehingga informasi tersebut tidak benar dan menyesatkan,” tambahnya.

Skema pembiayaan dalam BPJS Kesehatan berbeda, di mana uang yang dikelola merupakan iuran dari para peserta BPJS Kesehatan, seperti yang dijelaskan oleh Syahril.

Dia mengungkapkan bahwa individu yang mampu akan membayar iuran mereka sendiri. Untuk pekerja upah atau pekerja formal, iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dibayar bersama oleh pekerja (1 persen) dan pemberi kerja (4 persen).

Sedangkan untuk masyarakat yang tidak mampu, biaya iuran akan ditanggung oleh pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).

“Tidak adanya mandatory spending, tidak akan berpengaruh terhadap aspek layanan kesehatan yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan seperti yang selama ini sudah berjalan,” tandasnya.

Sebelumnya, Anggota BPJS Watch, Timboel Siregar, mengkritik kebijakan pencabutan mandatory spending dalam kesehatan. Ia berpendapat bahwa tindakan ini secara yuridis bertentangan dengan Tap MPR No.X/ MPR/2001 di Poin 5a huruf 4, yang meminta Presiden untuk mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan hingga 15 persen dari APBN.

Siregar mengkhawatirkan bahwa pencabutan kebijakan ini berpotensi mengarah pada penggunaan dana iuran JKN untuk membiayai kesehatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab APBN atau APBD.

Selain itu, ia juga mengkhawatirkan bahwa jumlah peserta PBI yang mendapat dukungan dari APBN dan APBD akan berkurang. “Hal ini berarti akan semakin banyak rakyat miskin yang dinonaktifkan dari JKN,”  katanya.

Artikel ini ditulis oleh: