Jakarta, aktual.com – Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siswanto menyatakan, tubuh kecil dan kurus pada perempuan berbahaya bagi kesehatan yang bisa berdampak pada keturunannya.
Dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (23/11), Siswanto mengatakan, saat ini masih ada pandangan di kalangan remaja putri bahwa memiliki tubuh yang kecil, langsing, tidak gemuk merupakan sebuah kecantikan.
“Remaja putri di Indonesia masih ada yang memiliki pandangan bahwa mengenai citra raga yang kurus dan kecil seperti pensil itu dianggap cantik. Remaja putri perlu menyadari bahwa persiapan hamil itu butuh kecukupan gizi,” ujarnya saat memaparkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 di hadapan seluruh Kadis Kesehatan Provinsi di Indonesia dalam Rakor Operasional Program (Rakorpop).
Menurut dia, pandangan tersebut sangat penting untuk diluruskan mengingat remaja putri merupakan calon ibu di masa depan.
Dia menjelaskan, semakin muda usia calon ibu maka semakin besar risiko terjadinya kondisi kurang energi kronis (KEK).
Jika seorang ibu hamil kondisinya KEK akan membawa dampak bagi janin yang sedang dikandungnya, karena dapat berpeluang melahirkan bayi dengan berat di bawah 2,5 Kg yang sering disebut berat bayi lahir rendah (BBLR) atau panjang badan saat lahir di bawah 48 CM.
“Ibu hamil yang KEK merupakan calon produsen anak kekerdilan. Karena kalau ibunya kurang energi, anaknya lahir BBLR atau pendek,” kata Siswanto.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 memotret penurunan angka KEK pada wanita usia subur dari 24,2 persen di 2013 dan wanita usia subur dengan KEK tidak hamil sebesar 20,8 persen. Sementara Riskesdas 2018 menunjukkan penurunan menjadi 17,3 persen dan 14,5 persen pada kategori yang sama.
Namun, adanya anggapan yang salah pada remaja mengenai ukuran kecantikan yang diidentikkan dengan kurus badan, menjadi tantangan besar dalam upaya pencegahan stunting.
Belum lagi tantangan anemia pada remaja putri dari 37,1 persen pada Riskedas 2013 yang justru mengalami peningkatan menjadi 48,9 persen pada Riskesdas 2018, dengan proporsi anemia ada di kelompok umur 15-24 tahun dan 25-34 tahun.
Siswanto mengemukakan, hal-hal tersebut jelas menguatkan bahwa kesehatan remaja sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan, terutama dalam upaya mencetak kualitas generasi penerus bangsa di masa depan.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: