Jakarta, Aktual.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menepis anggapan likuiditas perbankan saat ini sedang mengetat akibat pemerintah gencar menawarkan Surat Berharga Negara (SBN).
“Kami terbitkan SBN setahun ini hanya sekitar Rp50 triliun jadi jumlahnya kecil,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman dalam Green Sukuk Investor Day di Jakarta, Sabtu (16/11).
Menurut dia, Dana Pihak Ketiga (DPK) dari masyarakat yang dihimpun perbankan saat ini mencapai sekitar Rp5.500 triliun.
Sedangkan tahun ini Kemenkeu, kata dia, hanya menerbitkan SBN senilai Rp50 triliun dan tahun ini juga jatuh tempo sekitar Rp55 triliun.
SBN memiliki tingkat suku bunga yang lebih tinggi, seperti sukuk negara sebesar 6,75 persen per tahun, dibandingkan suku bunga simpanan yang ditawarkan perbankan yang lebih kecil.
Tingginya suku bunga yang ditawarkan SBN menarik masyarakat untuk menempatkan dananya.
Meski begitu, lanjut dia, Kemenkeu masih tetap mengikuti suku bunga acuan yang ditetapkan Bank Indonesia (BI).
“Kami selalu mengacu kepada pergerakan suku bunga juga, kita pernah tertinggi menawarkan 8,2 persen dan saat ini yang kami tawarkan 6,75 persen. Kalau suku bunga lagi turun, ya kami akan turun (suku bunga),” katanya.
Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kondisi likuiditas saat ini ketat di Indonesia yang menghambat upaya memaksimalkan peran swasta dalam pembiayaan infrastruktur pemerintah.
“Itu persoalan besar dalam sistem keuangan yang menyebabkan peran swasta tidak mudah, termasuk juga BUMN,” katanya dalam diskusi membedah pembiayaan infrastruktur tanpa APBN di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (14/11).
Menurut dia, likuiditas yang ketat diwarnai dengan dana masyarakat yang banyak terserap dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan melalui Kemenkeu yang menerbitkan SBN
Ia mengutip data dari Bank Dunia yang menyebutkan karena ketatnya likuditas di Indonesia mengakibatkan rasio jumlah uang terhadap ukuran ekonomi (M2/GDP) selama 2014-2019 mencapai kisaran 39-40. Padahal, lanjut dia, angka minimal likuiditas mencapai 100.
Jumlah itu, kata dia, masih kalah dibandingkan negara tetangga yakni Malaysia, Thailand, dan Singapura, yang berada di atas 100. Sedangkan Jepang dan China berada di atas 200.
Piter menambahkan likuiditas yang ketat itu menyebabkan tingkat suku bunga menjadi mahal dan cenderung kaku, meski Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan.
“Ini hukum permintaan dan penawaran, begitu likuiditas ketat, langka, maka suku bunga mahal. Swasta mau (investasi) tapi tidak mampu,” katanya.
Untuk itu ia mengharapkan likuditas yang ketat tersebut dapat diselesaikan karena selama belum berubah dan suku bunga kredit tetap tinggi, maka peran swasta dalam mendukung pembangunan infrastruktur menjadi terhambat.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan