Khusus untuk PKPS, pada saat diserahkan ke DJKN, jumlahnya mencapai 25 obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah 7 obligor yang penyelesaian kewajibannya dengan skema Akta Pengakuan Utang (APU) dan 2 obligor MRNIA (Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement).
Supariyanto mengakui, terkait dengan SKL yang sekarang dipermasalahkan kembali oleh penegak hukum, pada prinsipnya memang merupakan kebijakan dari pemerintah. Menurutnya, ada inpres No 8/2002 terkait dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham ini yang memang secara prosedural sudah dilakukan.
“Pengeluaran surat lunas sudah melalui prosedur tadi, di mana untuk SKLnya BDNI misalnya, itu skemanya adalah MSAA (Master Settlement Acquisition Agreement) di mana antara kewajiban obligor itu dibayar dengan sejumlah aset milik obligor yang diserahkan,” ucapnya.
Untuk diketahui, sebelum Kementerian Keuangan menangani para obligor ini, sebanyak 16 dari para obligor memang sempat ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI. Pada saat ditangani oleh dua Lembaga penegak hukum itu, penyelesaian ditempuh menggunakan jalur pengadilan alias (court settlement) karena adanya dugaan tindak pidana.
“Namun, dugaan itu tak terbukti. Maka oleh Kejaksaan dan Kepolisian, itu dikembalikan ke Kementerian Keuangan. Dan penyelesaiannya tak lagi lewat pengadilan atau out of settlement. Caranya dengan PUPN,” imbuh Suparyanto.