Setelah diserahkan ke PUPN, tahapan penyelesaian pun dilakukan. PUPN akan melayangkan panggilan kepada obligor. Setelah itu, akan ada pernyataan bersama kesanggupan waktu penyelesaian kewajiban.

Jika obligor menyatakan tidak sanggup menyelesaikan kewajibannya, maka akan diterbitkan diterbitkan penetapan jumlah piutang. “Kemudian, dilakukan penyitaan dan pelelangan,” ujarnya.

Menurut Suparyanto, terkait aset kredit, kini tinggal 22 obligor yang masih ditangani oleh PUPN. Pasalnya, sudah ada tiga obligor yang menyelesaikan kewajibannya. Yaitu Dewanto Kurniawan sebagai pemilik Bank Deka, Omar Putihrai, Pemilik Bank Tamara dan Group Yasonta sebagai pemilik Bank Namura.

“Sisanya 22 obligor masih di PUPN dan KPKNL. Jumlah utangnya mencapai Rp31,3 triliun dari 22 obligor yang masih kita urus,” katanya.

Terkait aset tagihan ini, Suparyanto menyebutkan pihaknya tengah mencari terobosan selain penyelesaian konvensional melalui lelang. Salah satunya adalah memanfaatkan aset yang dimiliki para obligor APU untuk dikembangkan sehingga menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban para obligor.

“Kalau jaminan itu berupa pulau misalkan potensial, di daerah Bitung yang bagus sekali, kenapa kita jual? Bagaimana kalau kita sepakati dengan obligor, kita hitung lalu due diligent, penyelesaiannya melalui aset itu diserahkan kepada negara lalu kita kembangkan,” tuturnya.

Menurutnya, langkah seperti ini bisa menjadi penyelesaian yang baik lantaran kewajiban obligor selesai, pulau pun tetap menjadi milik negara dan kita kembangkan untuk menghasilan pendapatan. Sementara, untuk aset berupa inventaris maupun saham diupayakan untuk dijual untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan oleh negara.

Namun, khusus untuk aset tetap, terobosan telah diambil. Pelelangan aset tak lagi jadi prioritas. Aset tersebut justru disewakan baik langsung maupun melalui kerjasama. Hal ini terkait perubahan paradigma bahwa aset yang ada akan dimanfaatkan untuk memperoleh pendapatan negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Jumlah aset tetap ini sendiri berjumlah sekitar 4.000 unit. Aset ini meliputi properti baik rumah maupun gedung kantor, sawah, eks perkebunan kelapa sawit, hingga resort.

Hingga kini, pengembalian atas aset eks BPPN dan eks PPA telah mencapai Rp7,7 triliun. Rinciannya, pada 2007, pengembalian aset mencapai Rp228,5 miliar. Di tahun berikutnya, pengembalian melonjak menjadi Rp1,55 triliun. Lalu kembali turun menjadi Rp273,79 miliar pada 2009.

Selanjutnya, pengembaliannya sebesar Rp561,29 miliar pada 2010, Rp1,04 triliun pada 2011, Rp1,13 triliun pada 2012, dan Rp1,44 triliun pada 2013. Pengembalian pada 2014 hingga 2016 secara berturut-turut adalah Rp539,99 miliar, Rp363,2 miliar dan Rp550,23 miliar.

“Tiap tahun akan semakin turun seiring jumlah aset yang semakin sedikit dan perlu adanya perubahan paradigma untuk mendapatkan pendapatan negara dari aset dan bukan menjualnya,” kata Suparyanto.

Fadlan Syiam Butho

(Wisnu)