Foto udara lokasi penerapan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Pertamina EP Sukowati Field, Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (7/12/2023). PT Pertamina (Persero) kembali mengimplementasikan teknologi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di sumur Sukowati-18 setelah sebelumnya sukses melakukan injeksi perdana Co2 di Lapangan Jatibarang. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/aww/Spt.

Jakarta, Aktual.com – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) secara tegas menetapkan strategi Indonesia untuk menjadi hub penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage atau CCS).

Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi mengungkapkan bahwa Indonesia berada di garis depan dalam era industri hijau dengan kapasitas potensial penyimpanan CO2 mencapai 400 hingga 600 gigaton di depleted reservoir dan saline aquifer.

Potensi tersebut memungkinkan Indonesia menyimpan emisi CO2 secara nasional selama 322 hingga 482 tahun, dengan puncak emisi diperkirakan mencapai 1,2 gigaton CO2-ekuivalen pada tahun 2030.

“Dalam upaya mencapai net zero emission pada 2060, Indonesia berambisi untuk mengembangkan teknologi CCS dan menjadi pusat CCS. Langkah ini tidak hanya akan menangani CO2 domestik tetapi juga mendukung kerja sama internasional,” ungkapnya di Jakarta, Sabtu (23/12).

Jodi menjelaskan bahwa pusat CCS akan menjadi penanda era baru bagi Indonesia, di mana CCS diakui sebagai “license to invest” (izin untuk berinvestasi) untuk industri beremisi rendah, seperti blue ammonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical.

“Pendekatan ini diharapkan membawa kemajuan bagi ekonomi Indonesia dengan membuka peluang untuk industri baru dan menciptakan pasar global untuk produk rendah karbon,” katanya.

Meskipun demikian, CCS memerlukan investasi yang substansial. Untuk menunjukkan keseriusan, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan ExxonMobil yang melibatkan investasi sebesar 15 miliar dolar AS dalam industri bebas emisi CO2.

Sebagai perbandingan, proyek CCS Quest di Kanada memerlukan investasi sekitar 1,35 miliar dolar AS untuk kapasitas 1,2 juta ton CO2 per tahun. Data ini menekankan pentingnya alokasi penyimpanan CO2 secara internasional untuk mendukung investasi awal yang signifikan dalam proyek CCS.

Jodi menegaskan bahwa sebagaimana negara-negara tetangga seperti Malaysia, Timor Leste, dan Australia juga berkompetisi untuk menjadi pusat CCS regional, sangat penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan peluang ini sebagai pusat strategis dan geopolitik.

“Inisiatif ini diharapkan tidak hanya mendukung Indonesia dalam mencapai tujuan lingkungan global, tetapi juga merangsang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inovatif,” tambahnya.

Sebagai pelopor di ASEAN dalam menerapkan regulasi CCS dan menduduki peringkat pertama di Asia menurut Global CCS Institute, Indonesia telah membangun fondasi hukum yang kokoh.

Regulasi ini melibatkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2023 mengenai CCS di sektor hulu migas, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang perdagangan karbon melalui IDXCarbon.

“Kita juga menuju penyelesaian Peraturan Presiden yang akan lebih memperkuat regulasi CCS,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan