Ilustrasi Petani mengangkat garam dari lahan
Ilustrasi Petani mengangkat garam dari lahan

Jakarta, Aktual.com – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan bahwa impor garam diatur sangat ketat oleh pemerintah sebagai salah satu pilot untuk penerapan Sistem Nasional Neraca Komoditas (SNANK).

“Impor garam untuk keperluan industri hanya dapat diimpor oleh API-P (Importir Produsen). Untuk sektor industri CAP dan farmasi kosmetik, garam diimpor oleh industri penggunanya langsung,” kata Menperin Agus Gumiwang Kartasmita di Jakarta, Jumat (5/8).

Seluruh industri yang membutuhkan impor garam mengajukan permohonan melalui sistem tersebut, kemudian diverifikasi oleh Kemenperin melalui lembaga verifikasi independen. Selanjutnya, hasil verifikasi ini dibahas melalui rapat koordinasi.

Industri sektor industri Chlor Alkali Plant (CAP) atau industri kimia dasar yang lahap garam, menggunakan bahan baku garam untuk menghasilkan produk berupa PVC, pipa, kabel, pulp, kertas, kaustik soda dan lain-lain. Sedangkan industri farmasi menggunakan bahan baku garam untuk memproduksi infus, cairan hemodialisa, obat-obatan, injeksi, dan lainnya.

Kemudian untuk sektor industri aneka pangan, garam diimpor oleh industri pengolahan garam berupa garam krosok yang diolah menjadi garam halus atau garam jadi, sesuai spesifikasi industri makanan dan minuman yang membutuhkan sebagai bahan baku atau bahan penolong.

“Garam yang telah diolah ini didistribusikan ke industri makanan dan minuman yang membutuhkan bahan baku garam untuk memproduksi bumbu, mi instan, makanan ringan, biskuit, dan lain-lain,” kata Menperin.

Industri pengolahan garam yang melakukan importasi untuk sektor aneka pangan diwajibkan juga menyerap garam lokal sebagaimana amanat Permenperin Nomor 34 tahun 2018, yang kemudian diolah menjadi garam konsumsi atau garam industri yang dapat menggunakan bahan baku lokal.

Garam impor saat ini hanya digunakan untuk tiga sektor industri yaitu industri CAP, farmasi dan kosmetik, serta aneka pangan, yang memerlukan kualitas garam industri cukup tinggi.

Tidak hanya kandungan NaCl minimum 97 persen, tetapi juga impuritas yang rendah, jumlah pasokan yang memadai, kontinuitas pasokan yang terjamin, serta harga yang bersaing, karena produk akhirnya tidak hanya untuk kebutuhan dalam negeri namun juga untuk kebutuhan ekspor.

Peningkatan kualitas ini dimulai dari proses hulu produksi garam oleh petani dengan menjaga konsistensi masa produksi garam sampai memperoleh hasil yang optimal, dengan kandungan NaCl untuk garam konsumsi minimal 94 persen untuk garam konsumsi, dan garam industri minimal 97 persen.

“Untuk itu, industri pengolahan garam harus dapat meningkatkan kualitas hasil olahan garam lokal melalui proses pengolahan garam berbasis teknologi modern sehingga produk jadinya dapat diterima oleh industri,” ujar Menperin.

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra