Tangkapan layar - Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro (kanan) saat menyampaikan pemaparan dalam Diskusi Bedah Tematik UU Kesehatan yang diselenggarakan Universitas Indonesia Maju (UIMA) secara daring diikuti di Jakarta, Jumat (4/8/2023). ANTARA/Andi Firdaus.
Tangkapan layar - Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro (kanan) saat menyampaikan pemaparan dalam Diskusi Bedah Tematik UU Kesehatan yang diselenggarakan Universitas Indonesia Maju (UIMA) secara daring diikuti di Jakarta, Jumat (4/8/2023). ANTARA/Andi Firdaus.

Jakarta, aktual.com – Staf Khusus Menteri Kesehatan, Laksono Trisnantoro, menyatakan bahwa besaran persentase anggaran kesehatan yang bersifat wajib atau Mandatory Spending sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas.

Dalam sebuah diskusi tematik mengenai UU Kesehatan yang diadakan oleh Universitas Indonesia Maju (UIMA) secara daring di Jakarta, Jumat (4/8/2023), Laksono Trisnantoro menegaskan bahwa angka tersebut tidak didasarkan pada referensi yang sesuai.

“Kesimpulan saya –ini bisa diperdebatkan–, tidak ada dasar ilmiah yang jelas 5 persen atau 10 persen,” katanya.

Menurutnya, sumber referensi mengenai Mandatory Spending yang sering dikutip berasal dari Tim Kerja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang merujuk pada besaran nominal Produk Domestik Bruto (GDP).

Laksono menjelaskan bahwa jika merujuk pada GDP Indonesia pada 2019 yang sebesar Rp16 ribu triliun, maka Indonesia memerlukan Mandatory Spending sebesar Rp800 triliun. Namun, jika dilihat dari anggaran 5 persen dari APBN, hanya akan menghasilkan Rp105 triliun, yang jauh berbeda dengan angka yang sesuai dengan GDP.

“Jika 5 persen dari APBN Rp2.165 triliun, itu hanya Rp105 triliun. Jadi beda sekali, Rp800 triliun dengan Rp105 triliun,” katanya.

Referensi lain yang sering dijadikan acuan untuk penerapan Mandatory Spending adalah Deklarasi Abuja 2021 yang dilakukan oleh negara-negara di Afrika, bukan oleh WHO secara global.

“Deklarasi ini oleh negara di Afrika yang miskin, ini bukan untuk standar global. Mereka minta 15 persen dalam rangka untuk menekan supaya negara-negara kaya memberi bantuan ke negara miskin,” katanya.

Selain itu, Laksono juga mengutip buku yang diterbitkan oleh WHO pada tahun 2016 berjudul “Target Pengeluaran untuk Kesehatan: Tidak Ada Angka Ajaib”.

“Dalam buku tersebut dinyatakan alokasi anggaran kesehatan sebesar 15 persen dari keuangan pemerintah melalui Deklarasi Abuja merupakan rujukan yang tidak tepat,” kata Laksono.

Laksono juga menyebut bahwa Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sering menyampaikan pandangan bahwa manfaat kesehatan tidak ditentukan oleh besaran nominal uang yang dikeluarkan oleh setiap individu. Alasannya adalah angka harapan hidup di sejumlah negara tidak selaras dengan besaran pengeluaran per kapita masyarakat setempat.

“Jika mau bikin yang kompleks hitungannya, persentase GDP dan absolute number pakai dolar AS per kapita. Itu yang sering dikatakan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin,” katanya.

Dalam upaya untuk mendapatkan pandangan yang lebih komprehensif, Laksono juga telah berkonsultasi dengan seorang pakar ekonomi kesehatan di Bank Dunia mengenai Mandatory Spending.

Artikel ini ditulis oleh: