Saudaraku, setelah 77 tahun Indonesia merdeka, secara ekonomi bangsa ini belum sepenuhnya merdeka dan berdaulat.
Pandemi mengungkap kelemahan negara kita dalam dua hal. Pertama, kesenjangan yang makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan privilese sosial. Padahal, seperti diingatkan oleh Richard Wilkinson & Kate Picket, ketidakadilan dan kesenjangan lebar bukan hanya buruk bagi yang miskin, tapi juga berbahaya bagi yang kaya. Kesenjangan lebar bisa memicu polarisasi sosial, kecemburuan dan prasangka, memudarkan rasa saling percaya, yang pada ujungnya membawa risiko kemunduran kesehatan fisik dan mental, bahkan bisa merembet pada peluluhan capaian pembangunan secara keseluruhan.
Kedua, Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita. Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan dan defisit neraca perdagangan, tak dapat mengembangkan kemakmuran secara luas dan inklusif.
Kita harus mengembangkan kemandirian dengan jiwa merdeka. Harus dipastikan bahwa yang berkembang di negeri ini bukan sekadar pembangunan di Indonesia, tetapi pembangunan Indonesia. Alangkah malangnya, bila dalam kisah bangsa sendiri, justru bangsa lain yang menjadi aktor utamanya. Setiap kali kita peringati hari Proklamasi Kemerdekaan, hendaklah mengingat pesat Bung Karno, “Bangsa yang tidak percaya pada kekuatan dirinya tak dapat berdiri sebagai bangsa merdeka.”
Belajar Merunduk, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin