Jakarta, Aktual.com – Pengamat pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso mengatakan kenaikan harga pupuk nonsubsidi merupakan hal yang wajar mengingat terjadi kenaikan harga juga di pasar internasional.

Andreas menyebut harga internasional mengalami lonjakan drastis sejak Mei 2021 dan terus bertahan hingga akhir tahun yang disebabkan oleh banyak faktor, antara lain pandemi global dan melonjaknya harga komoditas di pasar Internasional yang turut mempengaruhi harga pokok produksi pupuk di Indonesia.

“Harga pupuk internasional melonjak drastis, dari Mei 2021 sampai hari ini, itu kenaikan sudah tiga kali lipat untuk urea,” kata Andreas sekaligus Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini dalam keterangannya di Jakarta, Senin (3/1/2022).

Ia menyebutkan seluruh harga pupuk yang berbasis urea naik seperti diamonium fosfat atau DAP yang naik 2,6 kali lipat, pun dengan amonium sulfat atau ZA.

Kenaikan harga urea tak lepas dari meningkatnya harga gas yang naik sembilan kali lipat menjadi sekitar 25 dolar AS per MMBTU dari sebelumnya sekitar 3 dolar AS per MMBTU.

Andreas menilai harga pupuk nonsubsidi pun terkena imbas dari kondisi harga internasional. Meski begitu, kenaikan harga pupuk nonsubsidi dalam negeri tidak setinggi harga internasional.

“Kenaikan bahan baku urea yakni gas luar biasa tinggi sehingga mendongkrak harga pupuk, sehingga harapan kita dalam beberapa bulan harga gas alam akan turun, dan kalau harga gas alam turun barangkali pupuk terutama yang berbasis nitrogen akan turun,” katanya.

Bagi para produsen pupuk, saat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan ekspor. Sebab, harga urea sudah sekitar 1.000 dolar AS per ton.

Namun demikian, produsen pupuk dalam negeri telah berusaha menetapkan harga yang terjangkau demi memenuhi kebutuhan pupuk para petani. Untuk itu ia menyebutkan produsen pupuk tidak bisa menurunkan harga khususnya nonsubsidi lantaran mengacu kepada harga internasional.

“Harga internasional saja jauh lebih tinggi dari harga domestik. Dengan mekanisme subsidi ya paling ditingkatkan anggaran untuk pupuk subsidinya, tapi kalau dalam waktu dekat subsidi diberikan langsung ke petani. Jadi mereka bisa membeli pupuk nonsubsidi sehingga perusahaan pupuk juga tidak terlalu merugi,” kata Andreas.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) Achmad Tossin Sutawikara mengatakan bahwa harga pupuk nonsubsidi murni mengikuti harga internasional.

“Kalau harga tinggi di pasar internasional, kemudian kita serta merta menurunkan harga meskipun masih untung itu konsekuensinya menurut saya agak rumit juga. Manajemen tidak sesederhana itu mengambil keputusan hanya dengan tujuan tertentu, nanti disangka kita menurunkan potensi keuntungan lagi, bisa jadi temuan BPK lah dan sebagainya,” kata Tossin.

Selain itu, penurunan harga pupuk non subsidi dari harga internasional akan menjadi dumping. Hal itu justru berdampak tidak baik bagi para produsen

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
A. Hilmi